Saya pernah foto tanpa hijab bagaimana taubatnya?

Saya pernah foto tanpa hijab bagaimana taubatnya?

 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh 

Alhamdulillah washolatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa ashabihi 


Saudara-saudaraku semuanya pada kesempatan ini kami akan menjawab beberapa pertanyaan diantara pertanyaan adalah saudari kita yang sudah menyebar foto tanpa hijab via WhatsApp kepada lawan jenis sementara handphone dan wa-nya sudah enggak bisa dibuka karena hp-nya hilang Nah sekarang beliau ini sudah bertaubat Bagaimana ini supaya terbebas dari dosa ini yang dikuatirkan adalah ini dibuka oleh lawan jenis sedang dia tidak pakai hijab Apakah di ini menjadi dosa Jariyah yang mengalir terus sampai meninggal?.


Saudara-saudaraku semuanya yang saya cintai memang saat ini media luar biasa kita gampang mengupload foto kita foto diupload disebarkan gampang bikin video di upload disebarkan dan memang kenyataan begitu sebenarnya kita sebagai orang muslim memanfaatkan apa yang ada untuk kebaikan untuk menyebarkan dakwah menyebarkan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk Amar ma'ruf nahi mungkar ini akan menjadi kebaikan dan insya Allah menjadi amal jariyah Tapi sebaliknya kita menyebarkan foto tanpa hijab kepada lawan jenis menyebarkan tulisan-tulisan yang penuh dengan kebohongan ini bisa menjadi dosa jariyah


Saudara-saudaraku semuanya yang saya cintai dalam Islam wanita itu wajib berhijab ketika membuka aurat di hadapan laki-laki yang tidak mahramnya maka hukumnya dia berdosa kalau dia menyebarkan fotonya dan fotonya itu tanpa hijab ditonton jutaan orang maka dosa yang menonton jutaan Itu kembali kepada yang menyebarkan ini sangat mengerikan


Pertanyaannya bagaimana kita bertaubat sedangkan handphone udah ilang yang dikuatirkan kan foto itu disebarkan kepada orang lain oleh yang menemukan hp tersebut


Saudara-saudaraku semuanya maka kita harus bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyesal tentang perbuatan yang kita lakukan menyadari kesalahan kita minta ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Robbana dholamna anfusana wa illam taghfirlana watarhamna lanakunanna Minal khosirin mengakui bahwa kita kepada diri kita sendiri perbuatan kita itu akibat akan merugikan diri kita sendiri kita mohon ampun kepada Allah dan manusia yang baik bukan manusia tanpa berbuat dosa manusia yang baik adalah orang yang pernah berbuat kesalahan berbuat dosa Lalu minta ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala ini


Yang kedua karena kita sudah bertaubat kepada Allah kalau dulu pernah menyebarkan foto tanpa hijab maka saatnya kita menyebarkan kebaikan kebaikan kita gunakan media kita untuk media dakwah kita sebarkan tentang hadits-hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan sebarkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam


Kita sebarkan Bagaimana kewajiban berhijab kewajiban wanita berjilbab dari Alquran dan hadits rasulullah shallallahu alaihi wasallam kita sampaikan bahwa tidak ada satupun ulama yang mengingkari tentang wajibnya berhijab untuk wanita Kalaupun ada memang itu adalah orang-orang yang dalam kesesatan maka kita pakai itu menebus kesalahan kita menyebarkan kebaikan kebaikan termasuk menyebarkan tentang wajibnya wanita menutup aurat 


Saudara-saudaraku semuanya yang saya cintai selama kita masih bisa bernafas selama kita masih hidup di dunia selama itu pula Ketika kita bertaubat kepada Allah Allah akan mengampuni dosa-dosa kita selama kita masih hidup di dunia dan matahari belum terbit di barat dan maka tobat kita akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala Selama nafas belum di tenggorokan selama nyawa belum di tenggorokan maka selama itu pula kita bertobat Allah akan mengampuni dosa-dosa kita semuanya jangan putus asa Dari rahmat Allah 


Kepada saudariku tadi yang bertanya dan  semuanya wanita muslimah untuk hijrah yang tadinya membuka aurat sekarang menutup aurat yang tadinya tidak berhijab yang tadi menyebarkan foto-foto yang tidak ada artinya diganti dengan menyebarkan sunah-sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyebarkan tentang dalil Alquran dan as-sunnah tentang wajibnya untuk berhijab mudah-mudahan ada manfaatnya.



Hukum menikah tanpa saksi nikah

Hukum menikah tanpa saksi nikah


Dalam kegiatan menyusun buku "Mahligai Ternoda" sampailah saya pada bahasan tentang perbedaan pendapat wajibnya persaksian dalam akad nikah.


Ringkasnya saja, bahwa jumhur ulama mensyaratkan hadirnya dua orang saksi ketika akad nikah. Sementara madzhab Maliki tidak mensyaratkan itu tapi mensyaratkan harus ada pengumuman atau disebarkan ke masyarakat bahwa telah terjadi akad nikah sebelum berhubungan suami istri. Ini mirip dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hazm meski ada sedikit rincian yang berbeda.


Nah, lalu ada lagi pendapat dimana persaksian itu tidak wajib sama sekali. Pendapat ini dinisbahkan kepada Abu Tsaur, Yazid bin Harun, Hasan Al-Bashri, dan salah satu qaul dari Ahmad bin Hanbal.


Yang dijadikan dalil adalah atsar Ibnu Umar yang ada dalam Mushannaf Abdurrazzaq dari Ma'mar, dari Nafi', dari Habib mawla Urwah bahwa Ibnu Umar menikahkan putrinya dgn Urwah bin Zubair tanpa saksi, karena Habib mengatakan, "Waktu akad itu tidak ada orang lain kecuali aku, Abdullah bin Umar dan Urwah."


Kebanyakan penulis hanya menukil perkataan Habib hanya sampai di sini, padahal lengkapnya sebagaimana yg ada dalam Al-Mushannaf:

عبد الرزاق، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَن نَافِعٍ، عَن حَبِيبٍ، مَوْلَى عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ: بَعَثَنِي عُرْوَةُ إِلَى عَبدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ لأَخْطُبَ لَهُ ابْنَةَ عَبدِ اللهِ، فَقَالَ عَبدُ اللهِ: نَعَمْ، إِنَّ عُرْوَةَ لأَهْلٌ أَنْ يُزَوَّجَ، ثُمَّ قَالَ: ادْعُهُ، فَدَعَوْتُهُ، فَلَمْ يَبْرَحْ، حَتَّى زَوَّجَهُ، فَقَالَ حَبِيبٌ: وَمَا شَهِدَ ذَلِكَ غَيْرِي، وَعُرْوَةُ، وَعَبْدُ اللهِ، وَلَكِنَّهُمْ أَظْهَرُوهُ بَعْدَ ذَلِكَ، وَأَعْلَمُوا بِهِ النَّاسَ.


"Habib mengatakan, "Tidak ada yang menyaksikan akad nikah itu kecuali aku, Urwah, dan Abdullah.....TAPI MEREKA KEMUDIAN MENGUMUMKANNYA KEPADA ORANG BANYAK SETELAH ITU."

==================

Nah kalimat yang kapital itu menunjukkan dan menguatkan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hazm serta madzhab Maliki bahwa saksi tidak wajib ada di saat akad tapi yang wajib adalah memberi tahu orang-orang bahwa telah terjadi pernikahan.

==================

Catatan lain adalah bahwa Habin Al-A'war mawla Urwah bin Zubair di sini tidak terlalu kuat, Alh-Hafizh dalam At-Taqrib memberinya penilaian "maqbul". Dia memang dipakai oleh Muslim dalam shahihnya tapi hanya satu hadits itupun dikuatkan oleh yang lain.


Sedangkan di sini kejadian tersebut bertentangan dengan pendapat Umar bin Khaththab yang tidak menerima akad nikah yang hanya disaksikan oleh satu laki-laki dan satu wanita.


Artinya, riwayat Habib ini masih bisa dikritik oleh jumhur dari sisi sanad apakah masuk kategori munkar atau tidak.


Tapi yang jelas tidak bisa jadi dalil pendapat bahwa saksi tidak wajib sama sekali.


Oleh : Ustaz Anshari Taslim, Lc

_______________________________________________

Label :


nikah berdua saja, hukum nikah siri tanpa wali dan saksi, siapa yang berhak jadi saksi nikah, syarat nikah siri seorang janda, syarat saksi nikah, tugas saksi nikah, pertanyaan tentang saksi nikah, pernikahan yang dilakukan tanpa saksi hukumnya, ustadz anshari taslim, kajian rumah tangga, kajian pernikahan, fiqih pernikahan

Shalat di tempat yang ragu-ragu kesuciannya

Shalat di tempat yang ragu-ragu kesuciannya



Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh alhamdulillah wassholatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa ashabihi ajmain amma ba'du


Saudara-saudaraku semuanya kita bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang bersyukur dan ditambah nikmat oleh Allah subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam semoga selalu terkirim kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Allahumma sholli wasallim ala sayyidina Muhammad mudah-mudahan kita nanti mendapatkan syafaat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.


Saudara-saudaraku semuanya pada pertemuan hari ini kita akan menjawab beberapa pertanyaan diantara pertanyaan itu :

"Bagaimana kalau kita salat di tempat yang kita ragu-ragu sucinya Apakah Suci atau tidak lantainya misalnya sedangkan kita sholat pakai sajadah"


Saudara-saudaraku semuanya diantara syarat daripada shalat itu harus Suci tempat dari najis. Ini harus karena pernah kejadian di masjid Nabawi ada orang badui kencing di pojok masjid kemudian setelah itu disiram dengan 1 ember air, ini jadikan dalil bahwasanya tempat itu harus Suci ketika kita mau salat di atasnya.


Pertanyaannya adalah tempat itu memang kelihatan bersih suci Tapi kita ragu-ragu bagaimana? kalau ragu-ragu maka hukumnya tetap suci jadi kalau memang kelihatannya Suci kelihatannya bersih maka tetap itu hukumnya adalah Suci walaupun itu ada keraguan. Al yakin, bahwa keyakinan tidak akan bisa hilang dengan keraguan.


Saudara-saudaraku semuanya yang saya cintai, Islam menganjurkan kepada kita bahkan memerintahkan kepada kita untuk selalu bersih-bersih. Pakaian kita bersih tempat kita bersih badan kita ketika kita menghadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bukankah yang kita sembah adalah Allah yang Maha gagah yang maha kuasa Bahkan dalam salah satu hadits Allah itu indah Allah cinta kepada keindahan. Dalam hal pakaian harus bersih bukan hanya bersuci usahakan tempat juga baik ini etika kita menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.


Semuanya yang saya cintai, memang kadang-kadang banyak ibu rumah tangga yang dalam hal masalah membersihkan air kencing ini nggak paham misalnya anaknya kencing di lantai lalu dipel begitu aja lalu diatasnya dipakai salat. Ini masalah sering ini kejadian kencing kemudian begitu aja tidak diguyur Air ini masalah ini tidak diperbolehkan kalau ada air kencing diatas lantai maka itu memang boleh dilap dulu baru setelah itu harus diguyur dengan air


Kenapa demikian ada kisah yang sangat menarik ketika ada orang Badui yang kencing di pojok masjid ketika itu para sahabat marah Kata Rasulullah biarin saja dulu biarin saja Biarkan saja sampai selesai biar nggak kemana-mana itu air kencingnya. Kata Rasulullah siram di tempat air kencingnya itu dengan satu ember, disiram bukan dilap bukan pakai alat pel. Ini etika kita membersihkan tempat yang terkena najis.


Saudara-saudaraku semuanya, maka ibu-ibu rumah tangga harus paham Bagaimana membersihkan daripada najis. Bagaimana supaya lantai Kita terbebas dari najis gak cukup dengan dilap. Ketika kencing dilap dulu Memang kemudian baru diguyur air jangan dilap udah selesai Nggak saudara-saudaraku semuanya inilah pentingnya kita bicara dengan ilmu itulah pentingnya Kita paham dengan agama paham dengan fiqih sebab kalau tempat kita najis terkena nasi kita pakai salat maka Salat kita tidak sah.


Bagaimana kalau memang lantai itu najis tapi sholatnya pakai sajadah seperti pertanyaan tadi itu sah salatnya karena kita salat bukan di lantainya tapi diatas sajadah Jadi kalau memang lantai itu mutanajis terkena najis kita sholat pakai sajadah dan kita salat di atas Sajadah maka Salat kita sah, Salat kita sah asal kaki kita tadi diajak nempel lantai dalam kondisi basah.


Mudah-mudahan ini ada manfaatnya untuk kita semuanya, tentunya kami mengajak kepada saudara-saudaraku semuanya untuk mempelajari ilmu agama untuk mempelajari fiqih untuk bekal hidup kita agar hidup kita tingkah laku kita rumah tangga kita sesuai dengan aturan syariat Allah dan rasulnya mudah-mudahan ada manfaatnya, usikum wanafsi bitaqwallah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Oleh : Ustadz Nuralam Jurjani, S.Th.I, M.Pd.I

___________________________________

LABEL :

najis yang diragukan, pakaian yang membatalkan shalat, ragu terkena najis atau tidak, shalat dengan pakaian terkena najis, hukum ragu-ragu dalam islam, hukum najis yang tidak diketahui, was-was najis dimana mana, najis kering terkena pakaian, hukum ragu terkena najis atau tidak, najis hukmiyah tidak berpindah, hukum najis yang tidak diketahui, penyakit was-was yang parah, hukum najis yang diragukan, hukum cipratan air bekas mensucikan najis, was-was terhadap najis anjing, cara sembuh dari was-was najis



Kehancuran para da'i

Kehancuran para da'i


Saat saya mengkritik aghoni (lagu-lagu), ma'azif (alat-alat musik), dan joget laki laki dan perempuan yang dilakukan suatu pihak muncul reaksi dari mereka di belakang.
Beberapa masalah di atas sudah dibahas para ulama dahulu dalam kitab-kitab fiqh, hadits, dan tafsir.
Kitab Kaff Ar-Ri'aa' oleh Ibnu Hajar Al-Haitami adalah kitab fiqh klasik dan secara khusus membahas ma'azif dan aghoni dalam lingkup madzhab syafi'i.
Di lingkup madzhab syafi'i ada sekelompok kecil ulama madzhab yang berbeda pendapat dengan nash/qoul imam madzhab.
Abu Thoyyib Ath-Thobari pada syarahnya atas Mukhtashor Al-Muzani mentaqrir haramnya semua bentuk dan macam ma'azif kecuali duff.
Kitabnya Abu Thoyyib Ath-Thobari yang berjudul At-Ta'liiqoh tersebut sudah ditahqiq oleh syaikh kami dan sudah diterbitkan.
Kaff Ar-Ri'aa' oleh Ibnu Hajar Al-Haitami adalah yang paling lengkap membahas aqwal para ulama syafi'iyyah. Kitab itu bisa dijadikan rujukan buat bahas masalah aghoni, ma'azif dan segala bentuk malahi (hal-hal yang melenakan dan melalaikan) terkait madzhab syafi'i. Karena didalamnya beliau mengisti'ab qaul, ta'lil dan taujih aqwal yang muncul dalam madzhab. Serta beliau merodd (membantah) pendapat yang menyahi nash/qoul imam madzhab serta jumhur imamnya.
Dikalangan kontemporer juga banyak ulama yang membahas masalah tersebut. Diantara mereka: Syaikh Abdullah, Nashih 'Ulwan, Syaikh Abdul Karim Zaidan, dan Syaikh Muhammad Al-Hamid.
Syaikh Abdullah Nashih 'Ulwan dan Syaikh Abdul Karim Zaidan adalah dua fuqoha yang berasal dari Ikhwan.
Sementara Syaikh Muhammad Al-Hamid adalah gurunya Syaikh Sa'id Hawwa. Sa'id Hawwa menceritakan bahwa gurunya tersebut telah mencapai derajat ijtihad (anda boleh setuju atau menolak dengan simpulan itu).
Dalam risalah Hukmul Islaam Fii Al-Ghinaa Syaikh Muhammad Al-Hamid membahas qoulnya Imam Abu Hamid Al-Ghozali yang membolehkan ghina. Menurutnya, qoul itu ditujukan pada orang tertentu dan dalam konteks tententu bukan muthlak. Selain itu qoul itu punya quyud/muqoyyidat, serta punya maqoshid yang berfungsi sebagai dhowabith. Diantara dhowabithnya adalah aghoni bukan dari perempuan ajnabiyyah (asing), amrod, dan bukan ghina yang haram (muharrom).
Qoulnya Abu Hamid.Al-Ghozali bila ditanzilkan pada waqi' (realitas) sekarang tentu tak sesuai/cocok. Qoul itu akan mengakibatkan bias.
Ibnu Hazm, Ibnu Thohir dan Abu Hamid Al-Ghozali bila melihat lagu--lagu dan musik-musik sekarang di Indonesia dan dunia secara umum pasti akan mengingkarinya dan mengharamkannya.
Ibnu Hazm membolehkan karena memandang haditsnya dhoif. Pendapatnya adalah keliru. Dan para ulama dahulu dan sekarang banyak yang membantahnya kesalahannya itu.
Pendapat Ibnu Thohir sudah dikritik dan dibantah Ibnu Hajar Al-Haitami.
Ibnu Hazm, Ibnu Thohir dan Abu Hamid Al-Ghozali bila melihat jaman sekarang serta mendapati ustaz dan aktifis berjjoged ria bersama perempuan ajnabiyyah; diiringi lagu los dol yang berisi perselingkuhan, ajakan zina, dan mengajak menjadi dayyuts; serta diiringi ma'azif yang merusak tabiat, tentu mereka akan mengingkari kerusakan jaman sekarang dan mengeluarkan fatwa keras pada para pelaku tersebut.
Fatwa-fatwa "rukhsosh" oleh Syaikh Al-Qordhowi, Syaikh Muhammad Al-Ghozali, Syaikh Al-Judai' dan sebagian lembaga fatwa justru menjadi musibah bagi umat muslim kontemporer. Fatwa mereka ibarat garam yang dilumurkan pada luka. Umat pun tambah rusak.
Banyak kitab sudah dituliskan buat membantah ketiga ulama tersebut.
Sebenarnya kalau kita lihat lagu-lagu dan musik-musik di Arab, di Eropa, Di Amerika, di Korea, dan termasuk di Indonesia sangat jelas merusak akhlak dan tabiat manusia. Disamping keadaan dan isinya bertentangan dengan aqidah dan syariat. Serta makin menjauhkan umat dari kehidupan agama dan akhirat.
Lalu apakah boleh suami atau istri menggugat cerai pasangannya yang berjoged ria dengan perempuan atau laki-laki lain?
Secara syariat/fiqh tentu dibolehkan. Karena perbuatan di atas adalah kemungkaran yang nyata. Dan suami atau istri yang membiarkan pasangannya berjoged ria dengan wanita ajnabiyyah/laki-laki ajnabi adalah dayyuts.
Maka bila anda punya istri suka berjoged ria dengan laki-laki lain anda tak perlu ragu menceraikannya. Karena ia suka pada maksiat, kemungkaran, dan mendekati perzinahan.
Pun, bila suami anda gemar berjoged ria sama pelacur atau penyanyi panggilan anda punya alasan yang kuat mengajukan khuluk. Ia bukan lagi imam dan qowwam yang bisa diharapkan membawa keluarga kepada ridho Allah Ta'ala.
Anehnya sikap saya tersebut jadi bahan bulian dan tertawaan oleh kaum tersebut. Bahkan salah satu ustaznya mengatakan siap menampung para akhwat yang diceraikan suaminya karena gemar berjoged ria. Allaahul musta'aan.

 Oleh : Ustaz Hafidin Achmad Luthfie, Lc

__________________________________________________

Label : hukum berjoged dalam islam, hukum bernyanyi dalam islam, ustadz joget joged, hancurnya dakwah ditangaan dai, kerusakan umat akibat dai sesat


Bolehkah melakukan Aqiqah setelah dewasa

Bolehkah melakukan Aqiqah setelah dewasa


Ada sebagian orang yang belum sempat diakikah oleh orangtuanya ketika dia lahir. Itu bisa jadi karena ketidaktahuan atau bisa pula ketidakmampuan orangtua. Lalu, ketika sudah dewasa dan mampu untuk melaksanakan akikah, bolehkah melakukannya sebagai penebus akikah di waktu kecil? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.


Sebelum menjawab pertanyaan ini harus dipahami dahulu bahwa akikah itu merupakan tanggung jawab siapa?

Sebagian ulama mengatakan dia adalah tanggung jawab ayah. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab wali. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab anak.


Dalam hemat saya tak ada keterangan pasti bahwa akikah hanya menjadi hak orangtua. Sebab berdasarkan hadits, Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

”Setiap anak yang lahir akan tertanggung oleh akikahnya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa`i dan Ahmad).


Artinya, kalau dia masih tertanggung atau terhutang sampai melaksanakan akikah untuk dirinya, maka tak ada salahnya akikah itu dilaksanakan menggunakan harta si anak itu sendiri. Wallahu a’lam.


Kembali ke permasalah di atas ada dua pendapat:


Pendapat pertama: Boleh saja orang yang sudah dewasa melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri.

Ini adalah pendapat ’Atha`, Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin dari kalangan tabi’in. Sedang para ulama mazhab yang mendukung pendapat ini adalah sebagian ulama mazhab Hanbali dan sebagian Syafi’iyyah.[1]


Diantara para ulama modern yang mendukung pendapat ini adalah Syekh Abdul Aziz bin Baz ketika menjelaskan perbedaan pendapat dalam masalah ini maka beliau berkesimpulan,


“Pendapat pertama lebih kuat yaitu disunnahkan baginya mengakikahkan dirinya sendiri, karena akikah adalah sunnah muakkadah (yang dikuatkan). Ayahnya tidak melakukannya maka disyariatkan baginya untuk melakukan kalau dia sudah mampu. Ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang membahas masalah ini, antara lain sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Setiap anak akan tertanggung dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama.” (HR. Ahmad dan para penyusun sunan dari Samurah bin Jundub RA dengan isnad yang shahih).


Juga hadits Ummu Kurz Al-Ka’biyyah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan untuk mengakikahkan atas nama anak laki-laki berupa dua ekor kambing dan atas nama anak perempuan satu ekor.” (HR. Yang berlima). At-Tirmidzi juga mengeluarkan hadits senada dari Aisyah dan dia menganggapnya shahih.

Ini tidak hanya ditujukan kepada ayah semata, sehingga berlaku umum untuk anak, ibu dan anggota keluarga yang lain.”[2]

         

Juga menjadi fatwa resmi Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi,

“Telah tsabit dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengakikahi diri beliau sendiri ketika telah diutus menjadi nabi. Akikah untuk anak yang dilahirkan adalah sunnah, bukan kewajiban. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Syarat-syarat hewannya sama dengan syarat hewan pada kurban. Yang afdhal adalah menyembelihnya di hari ketujuh pasca kelahiran. Kalau disembelih sebelum atau setelahnya maka itu sudah sah. Kalau seseorang mengakikahkan dirinya sendiri setelah dia dewasa maka itu baik bila memang orang tuanya belum mengakikahkannya.”


Ttd, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), Abdul Aziz Alu Syaikh (Wk ketua), Bakr Abu Zaid (Anggota).[3]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberi kesimpulan bahwa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan akikah adalah ayah, tapi bila si ayah tidak melaksanakannya dengan alasan apapun maka si anak bisa saja melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri ketika sudah dewasa tapi dengan niat mewakili atau menggantikan ayahnya yang dulu belum sempat mengakikahkan. (Mudzakkiratu Fiqh, Al-Utsaimin, Dar Al-Bashirah, juz 2 hal. 237).


Pendapat kedua: Tidak boleh melakukan itu, karena bukan sunnah.

Ini adalah pendapat mazhab Maliki


Dalil-dalil:

Dalil yang membolehkan adalah hadits dari Anas RA bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meng-akikah-kan dirinya sendiri setelah menjadi Nabi.


Sahihkah riwayat ini?

Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan riwayat Anas ini. Ada yang menganggap dha’if, seperti Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, An-Nawawi dalam Al-Majmu` syarh Al-Muhadzdzab, bahkan beliau mengatakan hadits ini batil. Demikian halnya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish Al-Habir.


Ada pula yang menganggapnya sahih seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits nomor 2726. Beliau menjelaskan panjang lebar perbedaan para ulama mengenai hadits ini dan beliau berkesimpulan hadits ini shahih.


Hadits ini punya dua jalur dari Anas bin Malik:


Jalur pertama, dari Qatadah, dari Anas.


Ini sebagaimana Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (juz 4, hal. 329, no. 7960) berkata, ”Dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah SAW mengakikahkan dirinya ketika beliau telah diangkat menjadi Nabi.”

Jalur ini lemah sekali, karena Abdullah bin Muharrar telah disepakati kelemahannya.


Tapi Abdullah bin Muharrar diperkuat oleh Ismail bin Muslim Al-Makki sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2726 yang menukil dari Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahwa ada mutabi’ bagi Abdullah bin Muharrar yaitu Ismail bin Muslim Al-Makki, dari Qatadah, dari Anas.


Ismail bin Muslim lemah dari segi hafalan, tapi Abu Hatim mengatakan dia lemah tapi haditsnya masih boleh ditulis, meski dia sendiri tidak mau menulis haditsnya (Al-Jarh wa At Ta’dil 2/199).


Jalur kedua, dari Tsumamah bin Anas.


Ath-Thahawi berkata,

1053 - مَا حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَنْصُورٍ الْبَالِسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ: " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ "

“Al-Hasan bin Abdullah bin Manshur Al-Balisi menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam bin Jamil menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas menceritakan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya ketika beliau sudah diangkat menjadi Nabi.”

(Syarh Musykil Al-Aatsar, juz 3 hal. 78, no. 1053).


Al-Hasan bin Abdullah ini diperkuat oleh Al-Husain bin Nashr, yang juga dalam riwayat Ath-Thahawi.

Penguat lain adalah riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, dia berkata, “Ahmad menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah menceritakan kepada kami, dari Tsumamah, dari Anas, bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya setelah diutus menjadi Nabi.” (Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 1006).


Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id mengomentari riwayat Ath-Thabarani ini, “Perawi riwayat Ath-Thabarani ini adalah para perawi yang dipakai dalam kitab Shahih kecuali Al-Haitsam bin Jamil, tapi dia sendiri tsiqah. Sedangkan guru Ath-Thabarani yaitu Ahmad bin Mas’ud Al-Khayyath Al-Maqdisi tidak terdapat dalam Al-Mizan (maksudnya kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi).”


Maksud pernyataan Al-Haitsami diatas bahwa Ahmad bin Mas’ud tidak masuk dalam kitab Al-Mizan karya gurunya Al-Hafizh Adz-Dzahabi, yang mana kitab tersebut memuat para perawi yang dha’if. Artinya, Ahmad bin Mas’ud bukan perawi yang dha’if. Wallahu a’lam.


Ahmad bin Mas’ud di sini adalah Abu Al-Hasan, ada pula yang mengatakan Abu Abdullah Al Khayyath, sebagaimana diungkapkan oleh Syekah Nayif bin Shalah Al Manshuri dalam kitab Irsyad Al-Qadhi wa Ad-Dani ila Tarajum Syuyuukh Ath-Thabarani hal. 186, biografi nomor 229, sebagai rawi yang shaduq, bahkan kalau ada yang mengatakan tsiqah juga tidak bisa disalahkan.


Abdullah bin Al-Mutsanna bin Abdullah bin Anas memang masih diragukan kredibilitasnya, tapi Al-Bukhari sendiri memakainya dalam Shahihnya bila dia meriwayatkan dari pamannya yaitu Tsumamah bin Abdullah bin Anas. Coba lihat Shahih Al-Bukhari, no. 92, 93, 954 dan banyak lagi (berdasarkan penomoran maktabah syamilah). Artinya, bila Abdullah bin Al-Mutsanna ini meriwayatkan dari Tsumamah maka haditsnya diterima. Sebab, tidak mungkin Al-Bukhari memasukkan jalur tersebut ke dalam shahihnya bila bermasalah. Wallahu a’lam.


Lihat lebih lengkap bahasannya di As-Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani 6/502-506.


Akan tetapi ada satu riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Al-‘Iyal:

66 - حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ» قَالَ: وَرُبَّمَا قَالَ: حَدَّثَنِيهِ رَجُلٌ مِنْ آلِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ

‘Amr An-Naqid menceritakan kepada kami, Al-Haitsam bin Jamil menceritakan kepada kami, Abdullah bin Mutsanna bin Anas menceritakan kepada kami, Tsumamah bin Abdullah bin Anas menceritakan kepadaku, dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengakikahkan dirinya sendiri setelah beliau menjadi nabi.”

Dia (kemungkinan Haitsam -penerj) berkata, ada kemungkinan pula dia (Abdullah bin Mutsanna) mengatakan, “Aku diceritakan oleh salah seorang keluarga Anas.”


Nah ini menunjukkan bahwa Abdullah bin Mutsanna tidak ingat betul siapa yg menceritakan itu kepadanya, apa benar Tsumamah atau keluarga yang lain. Inilah salah satu illat hadits ini, karena Amr An-Naqid adalah seorang imam yang tsiqah, guru dari Al-Bukhari dan Muslim.


Kesimpulannya hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengakikahkan dirinya ketika sudah diutus menjadi Nabi masih diperselisihkan shahih atau tidaknya. Riwayat Ibnu Abi Ad-Dunya menunjukkan ada illah dalam riwayat Abdullah bin Tsumamah. Selain itu para mutaqaddimin seperti Imam Ahmad dan juga Al-Baihaqi menilainya munkar. Ini menunjukkan bahwa hadits ini memang bermasalah, karena biasanya yang seperti ini tidak tersembunyi dari riwayat para sahabat yang lain atau para murid Anas bin Malik yang lain. adalah hadits yang shahih lighairih. Riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna sanadnya hasan lidzaatih dan diperkuat oleh riwayat Ismail bin Muslim yang dha’if, sehingga menjadi shahih lighairih. Wallahu a’lam.


Riwayat atsar para salaf:


Meski demikian, amalan ini difatwakan oleh para tabi’in, antara lain Muhammad bin Sirin sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah,

24718- حَدَّثنا حَفْصٌ، عَنْ أَشْعَثَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، قَالَ: لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.

Hafsh menceritakan kepada kami, dari Asy’ats, dari Muhammad (Ibnu Sirin) dia berkata, “Andai kutahu bahwa aku belum diakikahkan, niscaya aku akan mengakikahkan diriku sendiri.”

(Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/319, terbitan Dar Al-Qiblah, tahqiq Muhammad Awwamah).


Juga difatwakan oleh Al-Hasan Al-Bashri sebagaimana riwayat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, juz 7 hal. 528 (terbitan Dar Al-Fikr) dari jalur Waki’, dari Ar-Rabi’ bin Shubaih, dari Al-Hasan yang berkata, “Jika kamu belum diakikahkan, maka berakikahlah meski engkau sudah jadi orang dewasa.” Perkataan Al-Hasan ini juga dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz 11 hal. 264 (terbitan Al-Maktab Al-Islami, 1403 H).


Dalil yang melarang:

Mereka menganggap bahwa akikah itu adalah tanggungan orangtua, maka tak ada hubungannya dengan si anak. Bila memang belum diakikahkan oleh orangtua maka tak ada hak si anak mengakikahkan dirinya. Lalu mereka mengatakan bahwa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengakikahkan diri sendiri adalah hukum spesial untuk beliau.


Tapi dalil ini lemah, darimana bisa menentukan bahwa itu spesial untuk Rasulullah saja? Tidak ada keterangan valid untuk itu, sehingga apapun yang dilakukan beliau dan tidak ada keterangan valid bahwa itu spesial buat beliau semata, maka itu menjadi sunnah bagi ummatnya. Wallahu a’lam.


Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud (hal. 61 cetakan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983), Ibnu Al-Qayyim menukil dari Al-Khallal bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “kalau ada orang yang mengakikahkan dirinya ketika dewasa maka aku tidak mempermasalahkannya.”


Kesimpulannya silahkan bagi yang ingin mengakikahkan dirinya bila belum diakikahkan di waktu kecil. Wallahu a’lam.


Anshari Taslim

Bogor, Minggu 24 Mei 2009.

Diedit kembali 11 Juli 2019.


[1] Lihat Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 8/431:

* قَالَ الرَّافِعِيُّ فَإِنْ أَخَّرَ حَتَّى بَلَغَ سَقَطَ حُكْمُهَا فِي حَقِّ غَيْرِ الْمَوْلُودِ وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي الْعَقِيقَةِ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ وَاسْتَحْسَنَ الْقَفَّالُ وَالشَّاشِيُّ أَنْ يَفْعَلَهَا لِلْحَدِيثِ الْمَرْوِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ) وَنَقَلُوا عَنْ نَصِّهِ فِي الْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ وَاسْتَغْرَبُوهُ هَذَا كَلَامُ الرَّافِعِيِّ

* وَقَدْ رَأَيْت أَنَا نَصَّهُ فِي الْبُوَيْطِيِّ قَالَ (وَلَا يَعُقُّ عَنْ كَبِيرٍ) هَذَا لَفْظُهُ بِحُرُوفِهِ نَقَلَهُ مِنْ نُسْخَةٍ مُعْتَمَدَةٍ عَنْ الْبُوَيْطِيِّ وَلَيْسَ هَذَا مُخَالِفًا لِمَا سَبَقَ لِأَنَّ مَعْنَاهُ (لَا يَعُقُّ عَنْ الْبَالِغِ غَيْرُهُ) وَلَيْسَ فِيهِ نَفْيُ عَقِّهِ عَنْ نَفْسِهِ

Juga Mughni Al-Muhtaj oleh Al-Khathib Asy-Syarbini 6/139:

فَإِنْ بَلَغَ سُنَّ أَنْ يَعُقَّ عَنْ نَفْسِهِ تَدَارُكًا لِمَا فَاتَ

[2] Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 26/266-267.

[3] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah edisi 2 jilid 10 hal. 456, fatwa nomor 18672.

***


Oleh Ustaz Anshari Taslim, Lc

______________________________________

Tags :  

dalil aqiqah 

waktu aqiqah 

hukum aqiqah 

tata cara aqiqah 

syarat aqiqah 

tujuan aqiqah 

makna aqiqah 

rukun aqiqah 

hukum aqiqah diri sendiri setelah dewasa 

aqiqah setelah berkeluarga 

batas umur aqiqah anak 

sudah menikah tapi belum aqiqah 

hukum aqiqah anak tapi orangtua belum aqiqah 

aqiqah adalah 

Rasulullah sebagai intel dan panglima perang yang cerdas

Rasulullah sebagai intel dan panglima perang yang cerdas


Ketika terjadi perang Badar, maka Rasulullah bergerak mencari informasi sudah sampai dimana pasukan Quraisy. Beliau ditemani Abu Bakar menggali info dari para arab badui. Maka beliaupun bertemu dengan seorang syekh Arab badui yang bernama Sufyan Adh-Dhamari.


Rasulullah pun bertanya kepadanya di mana posisi Quraisy dan dimana pula posisi Muhammad dan para sahabatnya?

Syekh ini tidak mengenal beliau.

Syekh ini bertanya, "Kalian dari mana?"

Rasulullah menjawab, jawab dulu pertanyaanku nanti kujawab pertanyaanmu kami dari mana."


Singkat cerita syekh inipun menceritakan berdasarkan info yang dia dapat berangkat sejak hari sekian, berarti mereka sudah sampai di sini. Begitu pula Muhammad dan pasukannya berarti sudah sampai di sini...sini...

Sufyan ini menyebutkan posisi Rasulullah dan pasukan dengan tepat.


Setelah itu Sufyan menagih janji Rasulullah memberi tahu mereka dari mana, dan Rasulullah menyebutkan, "Kami dari air "min maa`"

Sufyan berkata, "Dari Maa` Irak?"

Rasulullah langsung beranjak dan membiarkan Sufyan menduga.


Kata maa` (air) pada masa itu kalau untuk nama tempat biasanya dipahami orang arab gurun adalah dari Irak, karena di sana banyak air. Padahal maksud Rasulullah adalah berasal dari air mani.


Ini namanya tauriyah dan itu dibolehkan, dan Rasulullah segera pergi biar tak ditanya lagi macam-macam, karena kuatir terbongkar dia siapa dan posisinya dimana, nanti akan menyebar dan diketahui musuh, meski Sufyan ini bukan musuh.

 

Kisah ini ada dalam sirah Ibnu Hisyam, kalau di kitab saya jilid 1 hal 525 terbitan Dar Ibni Rajab, dia menukil riwayat dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dan ini juga ada dalam Tarikh Ath-Thabari, jadi statusnya mursal, tapi karena sirah makanya biasanya agak longgar penerimaan validitasnya dalam hal ini.

 

Tujuan Rasulullah adalah bertanya posisi Quraisy, tapi kenapa beliau juga bertanya posisinya sendiri padahal dia jelas sudah tahu?

 

Di sinilah kecerdasan beliau. Beliau ingin menguji ketepatan dan ketelitian perkiraan Syekh tersebut. Karena dia tepat mengira posisi Rasulullah berarti dia tepat pula mengira posisi Quraisy, dan keterangannya menjadi salah satu pertimbangan.

 

Pelajarannya, banyak selidiki tentang musuh dan jangan gembar-gemborkan tentang kita kepada orang yang tidak perlu tahu.

***

Ustaz Anshari Taslim, Lc 

[dalam isolasi rumah 7 Januari 2021]

____________________________________________

Tags :  

strategi dakwah rasulullah di madinah 

bagaimana strategi yang diterapkan rasulullah dalam berdakwah 

strategi dakwah rasulullah di mekah 

strategi komunikasi rasulullah 

strategi dakwah nabi muhammad shalallahu wassalam di mekah 

strategi dakwah ghundarmedia.com 

strategi dakwah rasulullah secara terang terangan 

strategi dakwah rasulullah pertama kali dilakukan dengan cara