Bisikan Hati
Akhlaq Jihad
Di medan-medan perjuangan hati manusia selamanya akan senantiasa
bertanya …. bertanya kepada dirinya – dan ini merupakan sebagian dari
pintu masuknya syetan -, “Mengapa kamu memenjarakan dirimu sendiri?
Mengapa kamu tinggalkan negeri dan keluargamu? Jika kamu terbunuh, maka
istrimu yang cantik akan menjadi janda, dan anak-anakmu yang manja akan
menjadi anak yatim! Kepada siapa kamu titipkan mereka? Jika keluarga
yang kamu tinggalkan masih hidup, maka kepada siapa mereka kamu
titipkan? Di negerimu dahulu, kamu dikelilingi oleh sekumpulan anak-anak
muda dan orang-orang tua. Mereka semua mengetahui betapa bernilainya
dirimu dan menghargai pula kemampuanmu.
Kamu tinggalkan mereka dan datang kemari. Kamu memenjarakan dirimu di
antara bukit-bukit dan lembah-lembah. Tidak ada yang melihatmu kecuali
Rabbul ‘Alamin. Tidak ada yang mendengarkan perkataanmu kecuali jin dan
malaikat. Kamu tinggal di suatu tempat yang sepi dari keramaian. Sedikit
saja manusia yang kamu lihat. Jika kamu berbicara, mereka tidak
mendegarkan perkataanmu. Kamu tak ubahnya seperti perahu kecil di
samudra luas terombang-ambingkan ombak. Karena apa? Karena berbagai
problema jihad yang menghadang di hadapanmu.
Maka lebih baik kembali saja ke negerimu! Di sana juga ada jihad, di
sana juga ada i'dad, di sana juga ada ribath. Kehadiranmu di sini tidak
berarti, keberadaanmu bersama mereka seperti anak-anak layaknya. Kamu
hanya menjadi beban jihad. Kamu makan dari makanan mereka, minum dari
minuman mereka dan bahkan merintangi gerakan mereka. Maka sudah
sepantasnyalah kamu malu pada dirimu sendiri dan mencelanya, lalu
mengemasi barangbarangmu dan kembali ke negerimu. Demikianlah syetan
menghasut hati manusia.
Tapi, hati orang beriman yang sadar, benar dan khusyu’ tentu akan
menjawab, “Hai syetan, bukankah mereka itu saudara-saudaraku yang wajib
aku lindungi? Bukankah mereka itu wali-waliku yang harus aku tolong?
Bukankah mereka itu orang-orang yang aku cintai? Dimana aku menyenangi
untuk mereka sesuatu yang aku senangi untuk diriku.”
Andaikan Afghanistan itu anak perempuan kecil saya atau anak laki-laki
kecil saya, lalu ia terluka parah dan darahnya mengalir deras oleh
tikaman senjata orang-orang kafir, maka tegakah saya meninggalkannya?
Tentu saya akan menjawab, “Memang luka ini mustahil dapat disembuhkan
atau sukar disembuhkan, tapi saya tidak akan membiarkan lukanya
bertambah parah dan penyakit menggerogoti tubuhnya. Saya tidak akan
membiarkan dia terus menerus merintih kesakitan. Saya akan mencari
pengobatan untuk anak saya kemana saja.
Saya akan mencari dokter spesialis untuk mengobati anak saya. Saya akan
membawanya dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain sampai sembuh
penyakitnya. Jika biaya habis, saya akan berhutang kepada si Anu dan si
Anu. Saya akan menjual tanah, rumah bahkan nyawa jika saya mampu. Saya
akan membawanya ke ujung dunia, jika memang hal itu bisa meringankan
penderitaannya atau menyelamatkan nyawanya.
Andaikan Dienullah yang kini terancam bahaya, maka apakah kita akan
berusaha menyelamatkannya? Andaikan Dienullah itu saudara kita, anak
kita atau istri kita maka apakah kita tega membiarkan demikian saja di
saat ia tengah mengalami bahaya? Tapi kenyataannya kita tidak membela
Dienullah sebagaimana kita membela istri kita atau anak kita atau bapak
kita. Dalam praktek yang sesungguhnya kita menerapkan prinsip yang
dianut oleh orang-orang Ba’ats; yakni : Dien kepunyaan Allah dan negara
milik semua warganya. (maksudnya : Jika Dien (agama) terancam, maka
serahkan saja soal pembelaannya kepada Allah. Yetapi jika negara yang
terancam bahaya, maka wajib bagi warganya untuk membelanya. Pent.)
Memang benar Dien adalah kepunyaan Allah, dan Allah – lah yang akan
melindunginya. Sebagaimana ucapan Abdul Muthalib ketika tentara Abrahah
menyerang kota Makkah dan hendak meruntuhkan Baitullah Ka’bah,
“Ketahuilah bahwa onta-onta yang kamu rampas itu adalah kepunyaanku,
maka kembalikanlah. Adapun rumah (yang hendak kamu runtuhkan) itu
mempunyai Rabb (Pemilik) yang akan melindunginya.” Namun Dien itu adalah
kepentingan manusia yang pertama kali harus dilindungi, mengingat
seluruh syari’at yang dibawa oleh para nabi, datang untuk melindungi
lima perkara, yakni :
1. Dien,
2. Nyawa,
3. Kehormatan,
4. Akal,
5. Harta.
Yang pertama dan utama adalah Dien. Sehingga jika terjadi pertentangan
kepentingan antara kesinambungan dien dan kesinambungan nyawa
(kehidupan), maka nyawalah yang harus dikorbankan untuk mempertahankan
dien. Oleh karenanya orang yang murtad harus dibunuh. Demikian juga jika
terjadi keadaan dimana musuh masuk ke negeri Islam, maka Imam harus
mengirimkan sebagian kaum muslimin untuk berperang mempertaruhkan nyawa
demi melindungi Dienul Islam dari ancaman. Di sini nyawa dipertaruhkan
untuk melindungi Dien. Jika musuh menawan sejumlah orang-orang muslim
dan kemudian menjadikan mereka sebagai tameng (sandera) untuk
melindunginya dari serangan dengan meletakkan tawanan muslim di depan
barisan dan kemudian mereka berjalan di belakang mereka, maka pasukan
muslim boleh membunuh tawanan muslim yang dijadikan tameng itu untuk
mencapai posisi orang-orang kafir dan membunuh mereka.
Sejumlah orang-orang Islam boleh dikorbankan nyawanya seberapapun
besarnya, jika tujuannya untuk melindungi Dien, kehormatan, harta dan
negeri mereka.
Silahkan kamu bandingkan, apakah Dienullah itu lebih rendah nilainya
dalam pandanganmu daripada istri-istri atau anak-anakmu? Bayangkan,
betapa pedihnya hatimu seandainya kamu melihat anakmu tengah menderita
kesakitan.. Jika anakmu sakit keras, tentu kamu tidak akan
meninggalkannya. Jika istrimu berada di klinik bersalin hendak
melahirkan anak, tentu kamu akan setia menunggui di sana. Pada saat
istrimu berjuang melawan rasa sakit, tentu fikiranmu kacau dan hatimu
resah sampai ia melahirkan. Tapi manakala Dienullah dalam bahaya,
sementara kamu berusaha melupakannya. ameskipun dengan membaca Al-Qur’an
adakah Allah mau menerima amalmu?
Contoh lain misalnya, kamu sedang belajar tajwid dan membaca Al-Qur’an
di tepi pantai; lalu ada anak kecil yang tenggelam dan kamu melihatnya.
Maka bolehkah kamu terus membaca Al-Qur’an dan membiarkan anak tersebut
tenggelam? Sesungguhnya Al-Qur’an yang kamu baca itu akan melaknatmu,
karena kamu meninggalkan yang wajib dan menyibukkan diri dengan yang
sunnah.
Seorang lelaki mengerjakan shalat tahajjud sepanjang malam, kemudian
shalat Shubuh ditinggalkannya, maka apakah shalat malamnya itu bernilai?
Seberarti apakah shalat tahajudnya itu dibandingkan dengan dua raka’at
shalat fardhu?!
Wahai saudaraku …
Mengapa kamu tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang
beriman? Kamu mengatakan, `Aku telah bosan`. Mengapa demikian? Mengapa
kamu bosan? Apakah karena perselisihan yang terjadi di antara
orang-orang Afghan? Sesungguhnya masalah yang sebenarnya bukan karena
ikhtilaf orang-orang Afghan, tetapi karena memang kamu tidak suka
berperang. Kamu mencari sebab dan alasan supaya dapat meninggalkan
tempat ini. Kamu membuat berbagai alasan seolah-olah kepulanganmu itu
disebabkan karena tidak ada amal (jihad) Islam di sini.
Apabila Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalamaw menyuruh kita membawa
keluar perempuan yang sedang haidh ke lapangan pada hari raya ‘Ied
adalah dimaksudkan untuk memperbesar jumlah kaum muslimin yang hadir dan
membuat geram musuh-musuh Allah. Apabila Sa’id bin Musayyab
rahimahullah pergi memenuhi panggilan perang meskipun usianya sudah
lanjut, penglihatannya telah hilang dan ia dalam keadaan sakit. Sehingga
orang-orang mengatakan padanya, “Allah telah memberimu udzur sebab
engkau dalam keadaan sakit”. Maksudnya agar supaya dia tidak usah ikut
berangkat berperang. Maka dia menjawab, "Allah membangkitkan kaum
muslimin untuk berperang baik dalam keadaan merasa ringan atau merasa
berat. Allah Ta’ala berfirman :
“Berangkatlah kamu berperang baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat”. (QS. At-Taubah : 41)
Bila aku tidak bisa berperang, maka setidaknya aku memperbesar jumlah
pasukan Islam. Di samping itu aku bisa menjaga perbekalan mereka". Maka
jelaslah bahwa kehadiranmu di dalam jihad bukan tidak berarti atau
sia-sia, sebab sekurang-kurangya kamu telah memperbesar jumlah kaum
muslimin.
Dr. Abdullah Azzam