Makanlah Yang Halal (1/3)
nasehat
Wahai kalian yang telah ridha Allah
sebagai Rabbnya, Islam sebagai Diennya dan Muhammad sebagai Nabi dan
Rasulnya. Ketahuilah bahwasanya Allah Azza wa Jalla telah menurunkan di
dalam Al-Qur'an :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَـٰلِحًاۖ إِنِّى بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٌ۬
“Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun : 51)
Sebuah ayat yang mengandung berkah dalam
Kitabullah, melalui ayat ini Allah memerintahkan hamba-hamba pilihan-Nya
dengan dua perkara penting yang saling berkaitan, yakni : memakan yang
halal dan beramal shaleh. Satu sama lain saling bisa menaikkan. Maka
menjadi kemestian untuk beramal shaleh sehingga amal tersebut bisa naik
dengan memakan barang yang halal. Dan menjadi keharusan memakan yang
halal sehingga Allah menerimanya.
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡعِزَّةَ فَلِلَّهِ
ٱلۡعِزَّةُ جَمِيعًاۚ إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ
ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۚ
“Barangsiapa yang menghendaki
kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir : 10)
Amal yang shaleh menaikkan perkataan yang
baik, dan harta yang halal menaikkan amal yang shaleh. Rasulullah saw
bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ
لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا
أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ
يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ
حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan
tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan
orang-orang yang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada para
rasul. Firman-Nya : Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari
makanan yang baik-baik yang Kami rezkikan kepadamu dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Kemudian
Nabi saw menyebutkan perihal seorang laki-laki yang rambutnya kusut,
berdebu karena melakukan perjalanan yang amat jauh. Orang tersebut
mengangkat kedua tangannya ke langit seraya memohon : “Ya Tuhanku, ya
Tuhanku.”, akan tetapi makanannya dari barang yang haram dan pakaiannya
dari barang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim :1686)
A. Mencari Yang Halal
Orang-orang salaf sangat memperhatikan
betul apa-apa yang akan masuk ke dalam mulut mereka dan apa-apa yang
keluar dari mulut mereka. Mereka bersikap amat ketat terhadap diri
mereka sendiri. Mereka sangat berhati-hati dan bersikap wara’ terhadap
diri mereka atas apa yang hendak mereka makan dan apa yang hendak mereka
percakapkan. Sebab Rasulullah saw telah memberikan jaminan kepada
mereka –dalam sebuah hadits shahih— bahwa siapa saja yang menjaga apa
yang ada di antara kedua jambangnya dan kedua kakinya, maka akan
dipeliharakan baginya surga.
مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
"Barangsiapa yang memberikan jaminan
padaku –dalam riwayat yang lain disebutkan -Barangsiapa memelihara
untukku— apa yang ada di antara kedua jambangnya –yakni mulutnya— dan kedua kakinya –yakni farjinya—, maka aku menjamin surga baginya atau aku akan memeliharakan surga baginya" (HR. Al-Bukhari)
Mulut hendaknya dipelihara dari makanan
dan perkataan. Jangan sampai memasukkan makanan ke dalam mulut kecuali
makanan yang baik. Dan jangan sampai mengeluarkan perkataan dari mulut
kecuali yang baik. Orang beriman itu perkataannya baik, jasadnya baik,
makanannya baik, jiwanya baik, dan apa saja yang ada padanya adalah
baik. Ketika mencabut ruh yang beriman, malaikat mengatakan (Keluarlah
hai ruh yang baik, yang berada dalam jasad yang baik. Engkau telah
mendiami jasad itu di dunia)
Para malaikat bergembira bertemu dengan
orang-orang yang baik di antara mereka. Dan mereka memberikan kabar
gembira kepada orang-orang yang baik di antara mereka dengan surga.
ٱلَّذِينَ تَتَوَفَّٮٰهُمُ
ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ طَيِّبِينَۙ يَقُولُونَ سَلَـٰمٌ عَلَيۡكُمُ ٱدۡخُلُواْ
ٱلۡجَنَّةَ بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan
dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka):
"Salaamun 'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa
yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl : 32)
Allah Azza wa Jalla membuat perumpamaan
bagi orang yang beriman, bahwa mereka seperti pohon yang baik.
Perkataannya juga seperti pohon yang baik.
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ
مَثَلاً۬ كَلِمَةً۬ طَيِّبَةً۬ كَشَجَرَةٍ۬ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٌ۬
وَفَرۡعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ (٢٤) تُؤۡتِىٓ أُڪُلَهَا كُلَّ حِينِۭ
بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمۡ يَتَذَڪَّرُونَ (٢٥
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik. Akarnya kokoh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu
ingat.” (QS. Ibrahim : 24-25)
Datang riwayat dalam sebuah hadits –namun di dalamnya ada perbincangan— dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata : “Saya membaca ayat “Yaa ayyuhar rasuulu kuluu minath thayyibati wa’maluu shaaliha,
artinya Wahai rasul-rasul makanlah kalian dari makanan yang baik-baik
dan kerjakanlah amal shaleh.” Di hadapan Rasulullah saw mendadak Sa’ad
berkata : “Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar Dia
menjadikan aku orang yang do’anya mustajab.”
Beliau berkata : “Hai
Sa’ad perbaikilah makananmu –makanlah dari makanan yang baik-baik—,
niscaya do’amu dikabulkan.” “Sesungguhnya ada seorang yang memasukkan
sesuap makanan haram ke dalam mulutnya, maka Allah tidak menerima
shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Al-Bukhari dengan lafal "Man yadhamanu li maa baina lihyaihi...")
Kemudian dalam riwayat lain dalam Musnad Ahmad –di dalamnya ada perbincangan pula— disebutkan :
“Sesungguhnya ada seseorang yang
membeli baju dengan harga sepuluh Dirham. Namun dari sepuluh Dirham itu
ada satu Dirham yang haram. Maka Allah tidak menerima amalannya selama
baju itu masih lekat padanya.” (HR. At-Thabrani. Lihat kitab At-Targhib wat Tarhib oleh
Al-Mundziri juz 2 hal. 547)
Oleh karena itu, maka orang-orang salaf
–semoga Allah meridhai mereka semua— betul-betul memperhatikan apa yang
masuk dan apa yang keluar dari mulut mereka. Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan
: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada
sedikit makanan haram.”
Di dalam Al-Qur'anul Karim disebutkan :
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah : 27)
Adalah orang-orang salaf apabila membaca
ayat ini tubuh mereka berguncang, hati mereka bergetar dan
bertambah-tambah rasa ketakutan dan kekhawatiran mereka. Mereka merasa
khawatir jangan-jangan Allah tidak menerima amalan mereka, karena Allah
hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. Sebab “Innamaa
(sesungguhnya … hanya)” apabila masuk dalam sebuah kalimat, maka ia akan
berfungsi sebagai pembatas. Maksudnya sesungguhnya penerimaan itu
terbatas hanya pada orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya penerimaan
dari Allah hanya terbatas untuk amal-amal yang dikerjakan orang-orang
bertakwa saja.
Pernah suatu ketika Imam Ahmad ditanya :
“Apa makna orang-orang yang bertakwa dalam ayat ini?” Maka ia menjawab :
“Yang sangat berhati-hati terhadap segala sesuatu sehingga tidak jatuh
pada sesuatu yang tidak halal.”
B. LIMA PERKARA YANG MEMBUAT SEMPURNANYA AMAL.
Berkata Abu `Abdullah Al baji:”Lima
perkara yang membuat sempurnanya amal. Jika salah satu ada yang hilang,
maka amal tersebut tidak dapat naik –untuk diterima dan diberi
ganjaran-. Yakni: Iman kepada Allah Azza wa Jalla; mengetahui kebenaran;
ikhlas dalam beramal karena Allah; mengetaui sunnah dan memakan barang
yang halal. Kelima perkara ini jika ada salah satu yang ketinggalan,
maka Allah tidak akan menerima amal seorang mu`min. Sebab Allah tidak
akan menerima amalan seorang yang tidak mengenal-Nya. Maka sudah menjadi
keharusan bagi orang yang beramal untuk mengenal Allah dan
mematui-Nya.
Apabila seorang telah mengenal Tuhannya,
maka ia harus mengenal kebenaran dan mengikutinya. Bagaimana mungkin
bisa seseorang mengikuti kebenaran kalau ia sendri tidak mengetaui /
mengenalnya?? Jika ia telah mengikuti kebenaran, maka ia harus
mengetaui petunjuk dan bimbingan sayyidul mursalin dalam penerapan
nash-nash Allah. Karena itu ia harus mengetahui sunnah.
Semua itu tidak akan mungkin diterima
Allah jika tidak nampak keikhlasan dan kebenaran dalam niat si pelaku
amal. Dan semua itu tergantung pada tenaga kekuatan yang dipakai untuk
berbicara dan tenaga untuk mengerakkan tangan dan anggota badan sehingga
anggota badan bisa melakukan amal., shalat malam, puasa dan
beristighfar diwaktu sahur. Jika tenaga yang dipakai yang dipakai itu
bersumber dari makanan yang haram, maka Allah tidak akan menerima
perkataan dan amalan yang bahan bakarnya dari makanan yang haram.
Wahab bin Ward berkata: ”Walaupun kamu
berdiri seperti bersirinya tiang ini dalam keadaan shalat dan puasa,
namun Allah tidak akan menerima amalanmu sampai engkau memperhatikan apa
yang masuk kedalam perutmu, apakah ia dari makanan yang halal atau
haram.
Dalam sebuah hadits shahih,Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
“Allah tidak akan menerima shalat kecuali dengan wudhu` dan tidak menerima shadaqah dari harta ghulul.” (HR. Muslim)
Ghulul adalah harta haram, baik yang
diambil secara khianat dari ghanimah perang atau fai`nya ataupun yang
diambil dengan jalan menipu dan merampas harta milik orang-orang
beriman.
Dalam Musnad Ahmad disebutkan sebuah hadits :
ولا يكسب عبد مالاً حراماً، فينفق منه،
فيبارك له فيه، ولا يتصدق منه فيقبل منه، ولا يتركه خلف ظهره إلا كان زاده
إلى النار، وإن الله - تبارك وتعالى - لا يمحو السيئ بالسيئ، ولكن يمحو
السيئ بالحسن، إن الخبيث لا يمحو الخبيث
“Apabila seorang hamba mencari harta
yang haram, maka tidak akan diberkahi jika ia menginfakkannya dan tidak
akan diterima Allah jika ia mensedekahkannya. Dan tiadalah ia menaruh
harta haram itu di belakang punggungnya, melainkan harta itu hanya akan
menjadi bekalnya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapuskan
kejelekan dengan kejelekan akan tetapi menghapuskan kejelekan dengan
kebaikan.” 6)
Dan dari Abu Darda’ serta Abu Maisarah,
keduanya mengatakan : “Berinfak dari harta yang haram adalah seperti
mengambil harta anak yatim untuk membeli pakaian buat para janda.”
Dari Al-Hasan Al-Bashri, dia mengatakan :
“Hai engkau yang bersedekah kepada orang miskin karena kasihan padanya,
belas kasihanilah orang yang engkau aniaya hartanya.”
Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud pernah
ditanya tentang seseorang yang berlaku zhalim dan mengambil harta haram,
lalu ia bertaubat, bersedekah dan mengerjakan ibadah haji. Maka jawaban
mereka adalah : “Sesungguhnya yang buruk tidak dapat menghapus yang
buruk.”
Para sahabat r.a. sangat bertindak keras
terhadap diri mereka sendiri terhadap harta yang mereka gunakan dan
terhadap Dirham yang mereka ambil dan mereka peroleh. Pernah suatu
ketika Ibnu Umar r.a. mengunjungi Abdullah bin Amir yang sedang sakit
keras. Abdullah bin Amir waktu itu adalah gubernur di Bashrah.
Orang-orang pun pada memuji dan menyanjung jasa baiknya. Mereka hendak
menentramkan hati Ibnu Amir dengan mengatakan bahwa ia telah banyak
membuat jalan, menggali mata air dan melakukan berbagai perbaikan. Namun
Ibnu Umar hanya diam saja. Lalu Ibnu Amir bertanya : “Apa pendapatmu
wahai Ibnu Umar?” Dia menjawab : “Allah tidak menerima shadaqah dari
harta ghulul … sesungguhnya yang buruk tidak dapat menghapuskan yang
buruk.”
Karena itu ketika Ibnu Umar ditanya
Abdullah bin Amir : “Apa pendapatmu tentang rintangan-rintangan yang
telah kami singkirkan –yakni meratakan jalan—dan mata air-mata air telah
kami pancarkan. Bukankah kami mendapatkan pahala dari semua itu?” Ibnu
Umar menjawab : “Sesungguhnya yang buruk tidak dapat menghapuskan yang
buruk.”
Pernah juga pada suatu ketika Abdullah
bin Amir, Gubernur Bashrah, menanyakan padanya tentang shadaqah dan
budak yang ia merdekakan. Namun Ibnu Umar menjawab : “Permisalanmu
adalah seperti permisalan orang yang mencuri onta milik orang yang
bepergian haji lalu berjihad dengannya.”
Oleh karena itu mereka, para sahabat,
sangat berhati-hati terhadap apa yang mereka terima dan apa yang mereka
makan, terhadap apa yang masuk ke dalam perut mereka dan apa yang masuk
ke dalam kantong mereka.
Ini adalah cerita mengenai kewara’an Abu
Hanifah rhm. Pernah suatu ketika Abu Hanifah mengirim rekan kongsinya
dalam suatu ekspedisi dagang. Sebelum berangkat Abu Hanifah mengatakan
kepada rekan kongsinya karena ia sendiri hendak bepergian :
“Sesungguhnya dalam barang dagangan ini ada baju milik si fulan. Baju
tersebut ada cacatnya. Maka kalau engkau menjualnya terangkan lebih
dahulu cacatnya kepada pembeli.” Akan tetapi rekan kongsi Abu Hanifah
lupa menerangkan cacat baju tersebut kepada pembeli. Kemudian ketika Abu
Hanifah kembali, dia menanyakan tentang baju itu. Kata rekan kongsinya :
“Saya telah menjualnya.” Lalu Abu Hanifah bertanya : ……….? “Ya.”
Jawabnya. Maka kemudian Abu Hanifah berkata : “Dari sekarang kita
membagi-bagi bagian kita.” Lalu Abu Hanifah membagi harta tersebut
bersama rekan kongsinya dan kemudian menyisakan harga yang ada cacatnya
itu.
Dan ini adalah cerita mengenai kewara’an
Ahmad bin Hanbal rhm. suatu hari Ahmad bin Hanbal terkena sakit. Lalu
oleh Thabib ia dianjurkan supaya makan kepala kambing yang sudah
dipanggang. Kemudian tatkala selesai membeli kepala kambing, ia berkata :
“Dimana kita akan memanggangnya?”
“Di tempat pamanmu Shalih.” Kata orang yang menemaninya.
Namun Ahmad bin Hanbal menolak seraya mengatakan : “Tidak, jangan di situ. Sebab dia telah bergaul dengan penguasa.”
Ahmad bin Hanbal menolak membakar kepala
kambing tadi di dapur pemanggangan pamannya hanya karena pamannya telah
bergaul dengan penguasa. Ketika anak-anaknya menerima hadiah dari Amirul
Mukminin, maka ia menutup pintu bagi anak-anaknya dan memutuskan
hubungannya dengan mereka.
Bahkan sebagian tabi’in ada yang lebih
dari itu tingkat wara’nya -dalam perkara ini-. Mereka tidak mau
memanfaatkan bangunan-bangunan, jembatan-jembatan dan masjid-masjid yang
dibangun oleh penguasa. Adalah Wahab bin Ward dan Thawus tidak mau
shalat di masjid yang dibangun sultan. Mereka beralasan bahwa harta
penguasa tersebut telah bercampur dengan harta haram dan kemasukan
sebagian harta pajak dan harta hasil sitaan.
Apakah kalian bisa membayangkan bagaimana
mereka tidak menyeberang jembatan yang dibangun oleh sultan. Mereka
tidak melewati jalan yang ada jembatannya, apabila jembatan itu dibangun
oleh sultan dari harta yang bercampur dengan harta haram. Adapun Ahmad,
maka dia mengatakan : “Tidak mengapa memanfaatkannya namun dengan satu
syarat engkau mengetahui bahwa masjid itu tidak dibangun dari harta
haram. Jika engkau tahu bahwa penguasa tadi merampas harta orang lalu
dengan harta itu dia membangun masjid atau mendirikan madrasah atau
meninggikan bangunan, maka tidak boleh bagimu memanfaatkannya.”
Semoga Allah memberikan rahmat kepada
wanita yang datang menemui Ahmad rhm. untuk bertanya : “Apakah kami
boleh memintal di bawah lampu penerangan para penguasa? –Adalah para
penguasa pada malam hari menghidupkan lampu agar jalan-jalan menjadi
terang—, oleh karena kami tidak dapat memastikan dari mana bahan bakar
lampu-lampu tadi, apakah ia dari harta haram atau halal?” Imam Ahmad
agak tertegun mendengar pertanyaan wanita ini, lalu ia pun bertanya :
“Siapakah engkau?” Saudari si Fulan.” Jawabnya. Lantas Imam Ahmad
berkata : “Dari rumah kalian keluar orang yang wara’.”
(Wara’ artinya shalih, menjauhkan diri dari perkara-perkara yang masih syubhat apalagi yang haram –pent.).
Tatkala masjid Bashrah mulai lemah/rapuh
pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, maka khalifah berkata kepada
kaum muslimin : “Perbaiki yang pecah-pecah saja, jangan melebihi itu
–perbaiki yang terbelah saja, jangan lebih dari itu—, sebab aku tidak
menemukan hak bagi bangunan masjid itu pada harta Allah. Dan tidak perlu
bagi kaum muslimin memperbaiki/membangun sesuatu yang bisa merugikan
Baitul Mal mereka.”
(Oleh : Dr. Abdullah Azzam)