Makanlah Yang Halal (2/3)

Makanlah Yang Halal (2/3)

C. Hukum Harta Haram

Atha’ pernah ditanya tentang seseorang yang mendapat harta haram, sedangkan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, maka Atha’ menjawab : ”Hendaknya ia sedekahkan harta itu namun saya tidak mengatakan bahwa ia diberi pahala atas sekedahnya.” Kata Malik : “Perkataan ini –yakni, hendaknya ia sedekahkan harta itu namun saya tidak mengatakan bahwa ia diberi pahala atas sekedahnya— lebih aku sukai daripada perhiasan emas sekian dan sekian.”

Para ulama salaf berbeda-beda pendapat mengenai seseorang yang memiliki harta haram, sedangkan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya. Umar bin Khatthab dan Asy-syafi’i berpendapat : “Dia harus simpan dan jaga sampai ketahuan siapa pemiliknya.” Sedangkan Fudhail bin Iyadh berpendapat : “Barangsiapa yang memiliki harta haram, maka hendaklah ia membuangnya ke laut dan jangan bersedekah dengannya.” Adapun jumhur ulama, maka mereka mengatakan : “Hendaknya ia sedekahkan itu, namun tidak ada pahala baginya, sebab merusakkan/melenyapkan harta itu tidak boleh.”


Kemudian kita harus berhenti sesaat untuk meninjau lebih jauh perjalanan hidup mereka inilah kaum salafus shalih, yang telah membangun agama ini, mendirikan tiangnya nan kokoh dan menegakkan bangunannya yang besar dan menjulang tinggi. Bagaimana cara mereka membangunnya? Bagaimana cara mereka mendirikannya? Dan bagaimana pula mereka meruntuhkan istana Kisra dan Caesar? Bagaimana mereka menaklukkan separuh belahan dunia hanya dalam tempo setengah abad? Sesungguhnya itu semua adalah karena :

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban/amalan) dari orang-orang yang bertakwa.”

Kehidupan mereka kita sangka bagaikan khayalan atau semacam dongengan, akan tetapi semua itu adalah realita yang berjalan di atas bumi dan terjadi dengan sesungguhnya.


B. Bersama Mulla Ramadhan

Suatu hari Mulla Ramadhan masuk ke rumah saya. Beliau adalah ayah Doktor Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Beliau adalah seorang ulama besar Syafi’i di Syam. Saya tawarkan padanya makanan, namun beliau menolaknya. Saya terus memaksanya, namun beliau tetap saja menolak. Lalu teman yang mengiring jalannya mengatakan : “Makanlah makanan ‘Abdullah!” Maka beliau menjadi malu pada saya dan akhirnya mengatakan dengan terus terang : “Saya akan memakan makananmu, akan tetapi saya tidak akan makan makanan anak saya, sebab dia menerima gaji dari pemerintah.” Beliau tak mau memakan makanan anaknya yang bekerja sebagai dosen di Fakultas Syari’ah! 


Putranya adalah ustadz/dosen kami. Beliau tidak mau makan dari makanan putranya karena dia menerima gajinya dari pemerintah. Beliau memandang harta/uang pemerintah telah bercampur, yang halal dengan yang haram, pajak biasa dengan pajak minuman keras dan lain-lain. Maka dari itu, beliau tidak mau memasukkan makanan anaknya ke dalam mulutnya.


Oleh karenanya, penduduk Syam banyak yang mengambil berkat dari do’anya.


Syaikh Sa’id Hawa bercerita padaku. Katanya : “Ketika si Babi Besar; Si Kafir Nusairi yang menguasai negeri Syiria, yang kerjanya merusak kehormatan wanita muslimat dan membelah perut wanita-wanita hamil. Si Babi besar ini pula yang duduk bersila di atas pundak kaum muslimin, merusak kehormatan mereka dan menodai kesucian mereka; menghapus materi undang-undang nomor satu atau dua –yang menyatakan bahwa undang-undang negara adalah Islam--, maka bangkitlah perlawanan menentangnya.” Lalu Sa’id Hawa melanjutkan ceritanya : “Maka kami pergi menemui Syaikh Hasan Habenkan Rahimahullah dan mengatakan padanya : “Kenapa tuan tidak bicara? Sungguh keadaan telah demikian genting dan krisis telah mencapai puncaknya. Sementara kami diam dan kalian juga tidak angkat bicara. Sampai kapan kalian akan tetap diam? Tidakkah engkau mau bicara? Tidakkah engkau mau bicara? Tidakkah engkau mau berkhotbah?” 


Akhirnya Syaikh Hasan berkata : “Baik, saya akan bicara tapi dengan satu syarat : “Kalian semua memberikan jaminan pada saya kalu Mulla Ramadahan bersedia mendo’akan saya. Sebab pada saat demikian –insya Allah— saya berada dalam penjagaan dari tangan orang-orang zhalim dan orang-orang lalim.


Jika demikian, makanan yang baik inilah yang menjadikan laki-laki itu berada pada maqam (kedudukan), di mana orang-orang mengambil berkat dari do’anya. Pada maqam, di mana orang-orang yang hendak melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar minta jaminan do’anya sebagai syarat, oleh sebab mereka mempunyai persangkaan yang kuat bahwa Allah tidak akan menolak do’anya sebab mereka menganggapnya termasuk di antara orang-orang yang bertakwa.


C. Bersama Imam Nawawi

Diriwayatkan dari Imam Nawawi rhm, bahwasanya ia menghabiskan sebagian besar umurnya di negeri Syam. Beliau berasal dari Nawa, sebuah desa di daerah Huran. Kemudian masuk wilayah Syam dan menjadi orang alimnya –bahkan menjadi tokoh ulama yang mendapat gelaran Muhyiddin (menghidupkan agama) An-Nawawi—. Bahkan boleh jadi tak ada dalam perjalanan sejarah fiqih Islam seseorang yang lebih mendalam pengertian fiqihnya daripada Imam Nawawi. Kata Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab : “Tak pernah sama sekali disusun suatu karangan secepat/seproduktif karangannya. Dan tak ada sama sekali kitab karangan yang menyerupai kitab karangannya.”


Dan memang betul, saya telah mendalami karya-karyanya dan saya tidak melihat sama sekali kitab karangan yang disusun menyerupai kitab karangannya. Saya katakan : “Imam Nawawi hidup di negeri Syam, dan beliau tinggal di sana hampir dalam sebagian besar masa hidupnya. Namun demikian beliau tidak pernah makan buah-buahan negeri tersebut. Tatkala orang-orang menanyakan padanya : “Mengapa tuan tidak makan buah-buahan negeri Syam?” Maka beliau menjawab : “Di sana ada kebun-kebun wakaf yang telah hilang. Maka saya khawatir makan buah-buahan dari kebun-kebun itu.”


Oleh karena itu, hati mereka bagaikan hati singa dan jiwa mereka laksana jiwa pendeta. Mereka laksana pendeta di malam hari dan bagaikan ksatria berkuda di siang hari. Mereka tak sudi berhenti di depan rintangan. Halangan dan rintangan yang bagaimanapun tingginya dan bagaimanapun sukarnya akan mereke terobos dan mereka lompati.


Tatkala tentara Tartar menyerbu negeri Syam, Zhahir Baibras berkata : “Saya menghendaki fatwa dari kalian wahai para ulama agar saya dapat menghimpun dana untuk membeli senjata guna menghadapi serangan bangsa Tartar.” Maka seluruh ulama memberikan fatwa seperti yang diminta oleh Zhahir Baibras kecuali seorang. Dia adalah Muhyiddin Nawawi. Zhahir bertanya : “Mana tanda tangan Nawawi?” Mereka menjawab : “Dia menolak memberikan tanda tangan.” Lalu Zhahir mengutus seseorang untuk menjemputnya. Setelah Imam Nawawi datang Zhahir bertanya : “Kenapa anda mencegah saya mengumpulkan dana untuk mengusir serangan musuh. Serangan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin?” 


Maka Imam Nawawi menjawab : “Ketahuilah, dahulu engkau datang pada kami hanya sebagai budak. Dan sekarang saya melihatmu mempunyai banyak istana, pelayan lelaki dan wanita, emas, tanah dan perkebunan. Jika semua itu telah engkau jual untuk membeli senjata, kemudian sesudahnya engkau masih memerlukan dana untuk mempersiapkan pasukan muslimin, maka saya akan memberikan fatwa itu padamu.” 


Zhahir Baibras amat marah mendengar ucapan Imam Nawawi, maka dia berkata : “Keluarlah engkau dari negeri Syam.” Lalu beliau keluar dari Syam dan menetap di rumahnya yang asli di desa Nawa. 


Pengusiran Imam Nawawi menimbulkan kemarahan para ulama, mereka datang menemui Zhahir Baibras dan berkata : “Kami tak mampu hidup tanpa kehadiran Nawawi.” Maka Zhahir pun mengatakan : “Kembalikan ia ke Syam.” Selanjutnya mereka pergi ke Nawa untuk membawa balik Imam Nawawi. Akan tetapi Imam Nawawi menolak ajakan mereka seraya mengatakan : “Demi Allah, saya tidak akan masuk negeri Syam selama Zhahir masih ada di sana.” 


Akhirnya Allah memperkenankan sumpahnya, Zhahir mati sebulan sesudah ia mengucapkan sumpah. Maka kembalilah Imam Nawawi ke negeri Syam.


Imam Nawawi menjadi guru besar di perguruan Darul Hadits di Syam. Lalu kira-kira tujuh puluh tahun sesudahnya datang As-Subki rhm. As-Subki tergolong ulama yang mencapai derajat mujtahid dalam Madzhab Syafi’i. Dia mendendangkan dua bait sya’ir tentang Imam Nawawi.


    Di Darul Hadits kutemukan makna
    Di atas hamparannya aku merindu dan bertempat
    Mudah-mudahan akan kuperoleh dengan pipi wajahku
    Suatu tempat yang telah diinjak kaki Nawawi


Sesungguhnya doa mempunyai beberapa persyaratan supaya diterima/dikabulkan. Dikabulkan di sini maksudnya : Diberi pahala atau dipuji para malaikat atau boleh jadi amalannya tidak sah secara keseluruhan. Datang suatu keterangan dalam beberapa hadits antara lain ialah :


“Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang, yang mendatangi ahli nujum dan membenarkan kata-katanya, selama empat puluh hari.”


“Barangsiapa mendatangi ahli nujum (dukun), lalu ia bertanya padanya dan kemudian membenarkan kata-katanya, maka Allah tidak akan menerima shalawatnya selama empat puluh hari.” 


Boleh jadi shalat yang ia kerjakan batal (tidak sah), atau boleh jadi pahalanya yang tertolak sehingga dia tidak mendapatkan pahala atas shalatnya namun fardhu shalat telah gugur daripadanya. Sementara para ulama menguatkan pendapat yang mengatakan shalatnya tidak diberi pahala. Artinya, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak memberinya pahala dan tidak memujinya di kalangan para malaikat. Adapun fardhu shalatnya sendiri telah gugur atasnya.

(Dr. Abdullah Azzam)