Beberapa Tanda Iman

Beberapa Tanda Iman

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه) متفق عليه.

Dari Abu Hurairoh radiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tamunya”(HR. Muslim No.67 dan Bukhori No. 5559 Mutafaq ‘alaih Maktabah Syamilah)

Hadits di atas menerangkan jenis-jenis perkara iman berupa menjaga ucapan, memuliakan, pemberian serta berbuat baik kepada sesama makhluk. Yang di dalamnya juga ada beberapa permasalahan.

Pertama : 
Perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (من كان يؤمن بالله واليوم الآخر) ”barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” merupakan metode yang berpengaruh yang digunakan oleh Rasulullah dalam menasehati dan memotivasi sahabatnya untuk melaksanakan amal sholeh. Maknanya barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir dengan benar dan sempurna maka lakukanlah hal ini dan itu, barang siapa membenarkan janji Allah dengan mengharapkan ganjaran dan merasakan berdiri dihadapan Allah pada hari kiamat maka hendaknya melakukan perbuatan yang mulia dan perangai yang baik ini. Dan di dalamnya ada dalil yang menegaskan bahwasanya perbuatan-perbuatan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini termasuk perangai iman diantaranya yang berkaitan dengan hak-hak Allah seperti ucapan yang baik dan diantaranya juga hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba, seperti memuliakan tamu dan tetangga.

Kedua : 
Di dalam hadits tersebut juga ada petunjuk bahwa menjaga lisan dari keburukan dan konsisten di atas kebaikan merupakan sebuah tanda dari konsistensi iman seorang hamba sebagaimana diriwayatkan di dalam Musnad Imam Ahmad dari hadits yag diriwayatkan Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Tidak akan istiqamah atau lurus Iman seorang hamba sehingga istiqamah hatinya, dan hatinya tidaklah akan istiqamah hingga istiqamah lisannya, dan tidak akan masuk surga seseorang jika tetangganya terganggu oleh keburukan-keburukannya”(HP. Ahmad no. 12575)

Di dalam syariat ada celaan kepada seseorang yang meluncurkan perkataan tanpa pertimbangan dan tidak memelihara perkataannya sebagaimana di dalam shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الرجل ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan sebuah kata yang jelas akan menggelincirkannya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat”(HR. Bukhori No.5996 Maktabah Syamilah). 

Didalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbali :
 إن الرجل ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسا يهوي بها سبعين خريفا في النار
Artinya : “ sesungguhnya seseorang benar-benar mengatakan sebuah kata yang ia pandang enteng yang akan menjatuhkan dirinya kedalam lembah di neraka yang dalamnyasejauh tujuh piluh tahun”(HR. Imam Ahmad no. 6917 Maktabah Syamilah). 

Jika janji ini bagi orang yang berkata tanpa berpikir maka bagaimana dengan orang yang sengaja berkata buruk maka urusannya lebih besar dosanya. Allah Ta’ala berfirman : 
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
artinya : “ ingatlah ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu  kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat”(Surat Qaf : 17-18). 

Dua pencatat adalah dua malaikat yang ditugaskan mengawasi seorang hamba, satu malaikat di kanannya mencatat kebaikan dan satu lagi di sebelah kiri mencatat keburukan. Sungguh sebagian salaf merasa cemas mengerang atau merengek ketika sakit takut dicatat dalam lembaran amalnya.

Ketiga :
Sabda Rasulullah (فليقل خيرا أو ليصمت) hendaklah berkata baik atau diam, didalamnya ada bimbingan bagi hamba bahwasanya ia akan melalui satu diantara dua hal dalam perkataan maka jika perkataannya baik hendaklah ia mengucapkannya dan jika tidak maka hendaknya ia menahan diri darinya kecuali jika dibutuhkan. Dan sebagai hasil bahwa perkataan terbagi menjadi tiga :
  1. Perkataan yang baik maka dianjurkan bagi seseorang untuk mengucapkannya bahkan mengucapkannya lebih baik daripada diamnya seperti membaca al-Qur’an, berdzikir, ilmu, amar ma’ruf nahim munkar, dakwah dijalan Allah serta yang lainnya yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syariat .
  2. Perkataan yang buruk maka disyariatkan bagi seseorang untuk menahan diri dari mengucapkannya dan diam darinya wajib seperti ghibah, namimah (adu domba), dusta, mencela serta lainnya yang dilarang dan diperingatkan oleh syariat.
  3. Perkataan yang mubah, tidak baik dan tidak juga buruk, maka disyariatkan seseorang menahan dirinya, tidak berbicara serta diamnya lebih utama daripada ia berbicara kecuali diperlukan untuk hidupnya dan kemaslhatan dirinya dan orang yang membutuhkannya.

Generasi salaf telah melarang untuk banyak berbicara karena sesungguhnya di dalamnya menyia-nyiakan waktu tanpa manfaat dan menghantarkan untuk jatuh pada hal yang diharamkan dan menyebabkan hati menjadi kesat serta lalai dari mengingat Allah. Ibnu Mas’ud berkata : “ waspadalah dari banyak bicara, kadang-kadang seseorang berbicara melebihi kebutuhannya”. 

Dan Imam An-Nakhai berkata : “Manusia binasa karena bermegahan dalam harta dan berpanjang kalam”. Umar bin Khattab juga mengatakan : “ Siapa yang banyak bicara banyak juga kesalahannya, dan siapa yang banyak kesalahannya maka banyak juga dosanya, maka neraka lebih berhak baginya”.  Perkataan yang baik lebih utama daripada diam. Seorang ulama berkata ketika bersama Umar bin Abdul Aziz : “diam dengan ilmu seperti berbicara dengan ilmu” maka Umar bin Abdul Aziz berkata : “ Sesungguhnya aku ingin menjadikan berbicara dengan ilmu lebih utama keadaanya pada hari kiamat diantara keduanya karena manfaat berbicara dengan ilmu untuk manusia sedang diamnya hanya untuk dirinya”. Kemudian ulama itu berkata kepada amirul mukminin : ‘maka bagaimana fitnah ucapan maka Umar bin Abdul Aziz pun menangis keras ketika mendengarnya.

Keempat : 
Dianjurkan bagi seseorang untuk memperbanyak perkataan yang baik dan jangan sampai luput dari majelis zikir (ilmu) ataupun luput barang sesaat dari mengingat Allah yang maknanya jangan sampai luput dari tempat-tempat yang dipenuhi ilmu, nasehat dan petunjuk kebenaran. Maka sesungguhnya setiap majelis dan keadaan yang di dalamnya hamba tidak menyebut nama Allah dan tidak juga membimbing makhluk untuk ingat kepada Allah kecuali pasti ia rugi didunia dan celaka serta menyesal diakhirat dan juga dihukum atas kesia-siaan yang ia lakukan didunia. 

Imam Ahmad bin Hanbal telah mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فَتَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ إِلَّا كَأَنَّمَا تَفَرَّقُوا عَنْ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ ذَلِكَ الْمَجْلِسُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً
Artinya : “ Suatu kaum berkumpul  kemudian luput dari mengingat Allah hanyalah seperti bangkai keledai dan majelis itu merupakan penderitaan bagi mereka(kelak)”(HR. Ahmad no.8691 Maktabah syamilah). 

Mujahid rahimahullah berkata : “Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam sebuah majlis kemudian berpisah sebelum mengingat Allah kecuali berpisah dengan bau busuk bangkai dan jadilah majelis mereka saksi atas kelalaian mereka, dan tidaklah suatu kamu berkumpul dalam suatu majelis kemudian mengingat Allah sebelum berpisah kecuali berpisah dengan bau wangi kesturi dan jadilah majelis mereka sebagai saksi kebaikan bagi mereka” (Jaami’ul ‘uluum wal hikam hal 320 Ibnu Rajab Al-Hanbali, tahqiq DR. Mahir Yasin Al-Fihli). 

Seorang salaf mengatakan : “Diperlihatkan kepada anak adam pada hari kiamat waktu-waktu dalam umurnya maka setiap waktu yang digunakan tidak untuk mengingat Allah didalamnya maka ia akan disiksa dalam keadaan menderita” (Jaami’ul ‘uluum wal hikam hal 321 Ibnu Rajab Al-Hanbali, tahqiq DR. Mahir Yasin Al-Fihli).

Kelima : 
Konsisten diam secara mutlak dan meyakininya sebagai bentuk pendekatan dan ketaatan kepada Allah pada setiap keadaan atau sebagiannya merupakan perbuatan bid’ah yang tidak memiliki contoh didalam syariat dan ia termasuk perbuatan kaum jahiliyyah serta didalam syariat tidak ada hal yang menunjukkan bahwa diam itu sendiri yang dimaksud secara syariat tetapi diam yang disyariatkan dan dianjurkan serta pelakunya dipuji ialah jika diam dari mengatakan yang batil atau diam dalam rangka mendengarkan ilmu dan khutbah serta yang semisal yang termasuk keadaan khusus yang menunjukkan bahwa diam merupakan sarana untuk yang lainnya maka jika berkaitan dengan kebaikan maka terpuji menurt syariat dan jika sebaliknya maka ia dicela menurut syariat dan diam juga bukan ibadah itu sendiri. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hal tersebut sebagaimana dikeluarkan Abu Daud didalam sunan Abi Daud dari hadits Ali radiyallahu ‘anhu secara marfu :
لا صمات يوم إلى الليل
”tidak ada diam sehari semalam”(HR. Abu Daud no. 2489). 

Dan Abu Bakar Ash-shiddiq radiyallahu ‘anhu berkata kepada seorang wanita yang ingin diam saja :
إن هذا لا يحل هذا من عمل الجاهلية
“sesungguhnya diam ini tidak boleh, ini termasuk perbuatan orang jahiliyyah”(HR. Bukhori no. 3547). 

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Husein rahimahullah bahwa ia berkata : 
صوم الصمت حرام
“Puasa diam adalah haram”(Kitab Shoum wal i’tikaf bab tahrimu shoumi ash-shomat wa hukmu shoumi asy-syuro hal 523)

Keenam : 
di dalam hadits tersebut terdapat bahwa kebaikan kepada tetangga bagian dari keadaan iman yang diperintahkan oleh syariat dan dimotivasi oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah dan Ibnu Umar radiyaalhu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ( Jibril selalu menasehati aku tentang tetangga sampai aku mengira tetangga mewarisi) dan setiap kebaikan berupa perkataan dan perbuatan masuk dalam makna kebaikan dan memiliki gambaran yang banyak : diantaranya menanyakan keadaannya, mengunjunginya, menghilangkan kesedihan dan kegelisahannya diwaktu fakirnya, mengunjungi ketika sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, menasehatinya, menolungnya untuk memenuhi kebutuhannya dan ikut serta dalam kegembiraannya dan kesedihannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seorang mukmin tidak merasa kenyang tanpa peduli tetangganya yang kelaparan”(HR. Ahmad no. 367). 

Dan di dalam shahih muslim dari sahabat Abu Dzar radiyallahu ‘anhu ia berkata : 
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ
“Jika kamu memasak sop maka perbanyaklah kuahnya dan bagilah tetanggamu”(HR. Muslim bab alwashiyyatu biljar wal ihsan ilaihi no. 4758). 

Dan dalam sunan Abu Daud dari Abdullah bin amr bahwasanya ia menyembelih seekor domba maka ia berkata kalian hadiahkanlah kepada tetangga yahudi kalian karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Jibril senantiasa menasehati aku dengan tetangga sampai aku mengira bahwa tetangga mewarisi (HR. Abu Daud bab Fii Haqqil Jiwar no.4485). 

Dan diantara penghormatan kepada tetangga yang paling besar adalah memikul bebannya dan bersabar atas perangai buruknya dan sedikit kebaikannya. Maka seseorang dituntut untuk menjadi ahli kebaikan dan berinteraksi secara baik dengan tetangganya serta tidak pelit dan tidak sukar berbuat baik dan juga pelit dalam harta, waktu serta akhlak kepada tetangganya. Dan sayangnya pada zaman kita sekarang, sedikit sekali perbuatan baik antar tetangga dan lemahnya hubungan serta banyaknya kerenggangan diantara mereka bahkan sampai seseorang tidak mengenal tetangganya dan juga tidak mengetahui keadaannya. Maka hanya kepada Allah kita mengadu.

Ketujuh : 
Tetangga dalam hal hak ada tiga macam sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya makaarimul akhlaq : “Tetangga ada tiga macam, tetangga yang memiliki satu hak, tetangga yang memiliki dua hak, dan tetangga yang memiliki tiga hak, maka tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan maka baginya hak islam, hak kekerabatan dan hak bertetangga, adapun yang memiliki dua hak ialah tetangga muslim, baginya hak islam dan hak bertetangga, sedangkan yang memiliki satu hak ialah tetangga musyrik, baginya hak bertetangga”. 

Sebagian ulama menetapkan batasan tetangga yang berkaitan dengan perlakuan baik maka sekelompok salaf mengatakan batasan tetangga adalah empat puluh rumah. Diriwayatkan dalam sunnah yang menguatkan hal tersebut namun tidak shahih. Dalam Marasil az-Zuhri bahwasanya seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan tetangganya maka Nabi memerintahkan sahabatnya untuk mengumumkan : ”Ketahuilah sesungguhnya empat puluh rumah adalah tetangga”. Ditafsirkan oleh az-Zuhri dengan empat puluh rumah pada setiap penjuru. Dan yang benar, bahwa tidak ada batasan dalam bertetangga karena tidak ada sunnah, satu hadits shahihpun yang menguatkan hal tersebut. Bahkan hal tersebut umum tidak dibatasi oleh syariat dan kembali kepada ketentuan tetangga dekat yang memiliki hak khusus menurut tradisi maka apa yang dipahami oleh penduduk negeri sebagai tetangga maka ia menjadi batasan seperti tempat tinggal, kampung, jalan dan yang lainnya. 

Maka semakin dekat tetangga dari rumah maka haknya lebih besar dan lebih utama dari selainnya sebagaimana diketahui dari riwayat ‘Aisyah rayallahu ‘anha berkata aku berkata kepada Rasulullah  sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga kepada siapa aku akan memberi hadiah? Rasul menjawab : “ yang lebih dekat dari rumahmu yang lebih utama” (HR. Bukhori bab haqqul jiwaar fii qurbil abwaab no.5561).

Kedelapan : 
Diantara kebaikan kepada tetangga adalah mencegah cobaan yang akan menimpanya berupa hal yang menyakitinya dan menghilangkan bahaya dan kesulitan darinya. Maka setiap perkataan dan perbuatan yang mnyakiti secara perasaan dan tradisi maka wajib bagi orang yang beriman untuk mencegah dirinya dari melakukan hal tersebut dan syariatpun melarang yang demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه 
Artinya : “Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari bahayanya”(HR. Muslim bab bayaanu tahriimi idzaiil jar no.66). 

Seorang muslim dilarang menyakiti saudara muslim lainnya dalam setiap keadaan dan bahkan pelarangannya dikuatkan dan lebih berat kadarnya dalam menyakiti tetangga karena besarnya hak tetangga sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu : “ Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dosa apa yang paling besar ? beliau menjawab : "Engkau menjadikan bagi Allah tandingan sedangkan ia menciptakanmu’ kemudian aku berkata : "Apa lagi?" ia jawab : "Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu", kemudian aku berkata lagi : "Apa lagi?" beliau jawab : "Engkau berzina dengan istri tetanggamu”(HR. Muslim no.124). 

Menyakiti tetangga merupakan sebab masuk kedalam neraka karena diriwayatkan di dalam musnad Imam Ahmad dari sahabat Abu Hurairah, ia berkata : 
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا وَصِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا قَالَ هِيَ فِي النَّارِ
Artinya : Seseorang berkata : "Ya Rasulullah sesungguhnya fulanah disebutkan banyak sholatnya, banyak puasanya dan banyak shodaqohnya namun ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya, nabi menjawab ia dineraka"(HR. Ahmad no. 9298 maktabah syamilah). 

Menyakiti tetangga memiliki gambaran yang banyak : mengambil hartanya, melanggar benda miliknya, memata-matai rahasianya, membuka kehormatannya, mengganggu fasilitas miliknya, mengganggu dengan suara bising,  membahayakan anak-anaknya, menyebarkan aibnya, membuat kebohongan dan rumor tentangnya, merusak keluarganya, dan yang lainnya yang membahayakannya. Dan menyakiti tetangga perkara besar yang biasanya tidak mungkin terpelihara darinya atau menghilangkannya. dan kadang-kadang orang yang menyakiti membawa perubahan pada kondisi rumah tetangganya. Oleh karena itu, syariat keras dalam masalah ini. Dan diriwayatkan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam permohonan kepada Allah dari keburukan tetangga.

Kesembilan :  
Didalam hadits ini ada perintah memuliakan tamu. Ibnu Abdil Bar berkata : ulama bersepakat atas pujian terhadap orang yang memuliakan tamu dan memuji atas hal tersebut dan bahwasanya menjamu tamu termasuk sunah-sunah para Rasul ‘alaihim sholatu wa sallam dan sesungguhnya Nabi Ibrohim orang yang pertama menjamu tamu. Nash saling menguatkan atas hal tersebut sebagaimana dalam shahihain dari Abi syuraih bahwasanya nabi bersabda : 
من كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ
"barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya dan menjamunya sehari semalam dan bertamu itu tiga hari maka apa yang setelah itu maka ia adalah sedekah."(HR. Muslim no. 3255 dan Bukhori No. 5670). 

Nash-nash telah menunjukkan atas wajibnya menjamu tamu sehari semalam, dan hari kedua dan ketiga merupakan sunnah tambahan yang disyariatkan dan tambahan dari tiga hari merupakan satu bentuk sedekah diantara sedekah-sedekah lainnya. Dan yang benar adalah menjamu tamu wajib bagi muslim, adapun orang kafir maka tidak wajib karena ini hak muslim atas saudaranya seperti nasihat, salam dan memenuhi undangan. 

Apabila datang seorang tamu kepada seseorang dan ia tidak memuliakannya maka boleh baginya menuntut haknya dan jika ia mampu mengambil haknya tanpa menimbulkan kerusakan diperbolehkan baginya melakukan itu. Dalam shahihain dari sahabat Uqbah bin Amir radiyallahu ‘anhu berkata : kami berkata kepada Rasulullah : "Ya Rasulullah bila anda mengutus kami dalam suatu perjalanan lalu kami singgah disuatu kaum(kampung) namun mereka tidak melayani kami(memberikan hak tamu), apa pendapat anda dalam masalah ini?" Maka beliau bersabda : 
إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فَأُمِرَ لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ
“Jika kalian singgah disuatu kaum diperintakah bagi kalian untuk menuntut hak sebagai tamu maka mintalah kepada mereka, jika mereka tidak menunaikannya maka ambilah dari mereka sebatas hakmu sebagai tamu”(HR. Bukhori No. 2281 dan Muslim 3257). 

Ulama berbeda pendapat apakah menjamu tamu wajib bagi penduduk desa dan juga penduduk kota ataukah hanya penduduk desa. Imam Malik berkata tidak wajib bagi penduduk kota menjamu tamu. Dan Sahnun berkata menjamu tamu hanya wajib bagi penduduk desa, adapun penduduk kota maka hotel merupakan tempat singgah bagi musafir.

Kesepuluh : 
Boleh bagi tamu untuk tinggal bersama tuan rumah selama tiga hari walau dia kaya, akan tetapi tidak halal bagi dia untuk tinggal dirumah pemiliknya sampai menjatuhkannya kedalam bahaya, baik ini untuk tiga hari ataupun lebih dari tiga hari. Maka jika ia mengetahui kelemahan dan kefakiran tuan rumah ataupun tuan rumah menjamunya dengan makanan untuk dirinya ataupun untuk keluarganya dan keluarganya tersakiti dengan hal tersebut maka itu tidak boleh baginya untuk meminta dijamu pada saat itu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Syuraih al-Ka’biy :
وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
Artinya : “ dan tidak halal baginya untuk tinggal bersama pemilik rumah hingga membuat pemilik rumah susah”(HR. Bukhori no.5670, Imam Malik no. 1454 dan yang lainnya). 

Dan tidak ragu lagi bahwasanya menjamu tamu wajib dan dianjurkan bagi orang kaya adapun orang yang fakir tidak. Demikian juga tidak dituntut baginya untuk tinggal bersama tuan rumah lebih dari tiga hari yang sehingga menyusahkan tuan rumah namun dituntut bagi tamu untuk menjaga keadaan tuan rumah. 

Ibnu Umar apabila tinggal tiga hari dirumah seseorang memerintahkan untuk memberikan manfaat dengan memberikan sedikit hartanya dan melarang untuk makan dari harta orang yang disinggahi.  Berhak bagi tuan rumah untuk memerintahkan pergi dari rumahnya setelah tiga hari sebagaimana dilakukan oleh Imam Ahmad. Akan tetapi jika tuan rumah suka untuk tetap menjamu tamu dan memiliki keluasan harta maka tidak mengapa bagi tamu untuk tetap bersamanya karena tetapnya dia tidak menyulitkan tuan rumah bahkan menambah kebahagiaan. Dan diantara hal yang memprihatinkan ada sebagian tamu yang memberatkan bagi penjamu dalam hal tinggal bersama tuan rumah dan tidak memperhatikan keadaan tuan rumah serta adab syariah.

Oleh : Ustaz H. Fajar Ichsan (Di terjemahkan dari tulisan Ustaz Kholid Su’ud al-Bulaihed)