Keutamaan Mengajar di Sisi Allah

Keutamaan Mengajar di Sisi Allah

A. Beberapa Pahala dan Keuntungan Mengajar

Ilmu didapat dengan belajar. Berarti harus ada yang mengajar. Bila tadi kita sudah bicara panjang lebar tentang pahala yang didapatkan oleh orang yang belajar, sudah barang tentu orang yang mengajar akan mendapat pahala yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu, pertama orang yang mengajar sudah pasti pernah belajar, sehingga ia sudah mendapatkan pahala orang yang belajar. Kedua, mengajar itu memberi dan memberi dalam Islam diibaratkan dengan tangan di atas, dan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Ketiga, prinsip ganjaran dalam Islam adalah siapa yang menjadi penyebab terjadinya sesuatu, maka ia akan mendapatkan ganjaran dari apa yang ia sebabkan.

Dalam Islam mengajar, apalagi mengajar ilmu agama dan segala pendukungnya mendapatkan kedudukan yang luar biasa dan pahala tak terhingga. Berikut beberapa hadits tentang pahala orang yang mengajar:


  • Mendapat pahala pasif.
Bila kita pernah mendengar adanya pemasukan pasif (passive income), yaitu profit (keuntungan) yang terus mengalir tanpa harus bekerja, maka dalam Islam pun ada yang namanya pahala pasif. Ia bisa didapatkan bila seorang muslim semasa hidupnya pernah melakukan suatu kebaikan yang mendatangkan manfaat bagi orang lain. Selama manfaat itu masih dirasakan, selama itu pula pahalanya terus mengalir pada pembuat atau pencetusnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.

Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah amalnya (pahalanya) kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan orang lain dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim, no. 1613 dari Abu Hurairah).

Dalam hadits lain masih dari Abu Hurairah ra Rasulullah bersabda,

(إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمَؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ......(الحديث

Amal dan kebaikan seorang mukmin yang masih terus mengalir kepadanya setelah ia meninggal antara lain: ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan……..dst” (HR. Ibnu Majah, no. 242. Al-Albani menganggapnya hasan dalam Shahih At-Targhib no. 77).

Dari Sahl bin Mu’adz, dari ayahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ شَيْءٌ.

Siapa yang mengajarkan suatu ilmu, maka ia mendapatkan pahala orang yang mengamalkan ilmu itu tanpa mengurangi pahala orang itu sedikitpun.” (HR. Ibnu Majah, no. 240. Al-Albani menganggapnya hasan lighairih dalam Shahih At-Targhib, no. 80).

Dari kedua hadits ini diambil kesimpulan bahwa orang yang mengajarkan suatu ilmu yang bermanfaat, maka dia akan mendapatkan pahala yang tak terputus, meski ia sudah meninggalkan dunia. Di dalam kubur ia terus mendapatkan pahala dari ilmunya yang dimanfaatkan orang banyak. Semakin banyak orang yang memanfaatkan ilmunya semakin banyak pula pahala yang ia dapatkan. Begitu seterusnya sampai hari kiamat tiba.

Satu ilustrasi deskriptif, anda adalah seorang guru yang mengajarkan baca Al-Qur`an kepada seseorang baik anak kecil maupun orang dewasa dengan niat hanya karena Allah semata. Maka, ketika ia bisa membaca Qur`an dan mengamalkannya, anda pun akan mendapat pahala yang sama. Selanjutnya ia akan mengajarkannya lagi ke orang lain, dan orang lain itu akan mengamalkannya dan seterusnya sampai berpuluh atau beratus, bahkan beribu orang yang akan membaca Al-Qur`an dari murid-murid anda tadi. Hebatnya, anda akan mendapatkan pahala dari kesemua mereka yang terlibat. Subhanallah, betapa pemurahnya Allah yang memberi pahala kepada hamba-Nya tanpa perhitungan.

Demikian dengan ilmu-ilmu lainnya. Maka jangan heran bila anda meninggal dunia dan belum sempat menunaikan ibadah haji, tapi di akhirat anda mendapatkan pahala haji. Bisa jadi karena anda pernah mengajarkan tata cara ibadah haji kepada salah seorang murid anda dan ia ingat pelajaran itu, kemudian ia amalkan ajaran anda ketika ia diberi kemampuan oleh Allah untuk menunaikannya di tanah suci.

Maka dari itu, jangan berkecil hati wahai para guru. Sesungguhnya yang paling mulia di antara para guru ini adalah guru TPA yang ikhlas mengajarkan anak didiknya membaca Al-Qur`an. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ.
Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Olehnya, jangan berkecil hati mengajarkan sesuatu yang remeh dalam pandangan manusia. Bisa jadi dalam pandangan Allah ia lebih mulia dari dunia dan segala isinya. Sungguh para guru di daerah terpencil asal mereka ikhlas lillahi ta’ala jauh lebih mulia daripada orang yang mentarifkan ilmu agama. Manusia memandangnya dengan penuh hormat, memberinya gelar yang hebat, punya nama dan harta yang berlimpah dari hasil ceramah dan seterusnya. Semua itu tentu tidak ada salahnya. Sah-sah saja seseorang menjadi kaya raya karena dia berilmu. Tapi, bila dibandingkan dengan para guru yang remeh di hadapan banyak orang tadi, besar kemungkinan derajatnya di sisi Allah akan jauh di bawah.

Orang yang bergelimang harta dan pujian manusia akan semakin sulit untuk ikhlas dan khusyuk beribadah. Sedangkan mereka yang terpencil dan banyak berkorban demi dakwah dan mengajarkan agama biasanya mudah memiliki sifat tersebut. Itulah salah satu faktor mengapa guru terpencil tadi kemungkinan besar lebih mulia di mata Allah daripada para ustadz kondang pujaan jutaan orang. Wallahu a’lam.

  • Dimintakan ampun oleh para malaikat dan makhluk bumi.


Dari Abu Umamah ra, Rasulullah bersabda,

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ حَتىَّ النَّمْلَةَ فِيْ حُجْرِهَا وَحَتَّى الْحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسَ الْخَيْرَ.

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bahkan semut di dalam lubangnya dan ikan paus bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2685. Al-Albani menganggapnya hasan lighairih dalam Shahih At-Targhib, no. 81).


B. Adab-Adab Mengajar

  •  Niat yang ikhlas.

Ini sama dengan adab menuntut ilmu. Ikhlas merupakan nyawa dari semua amal ibadah, tanpanya ibadah apapun tidak akan diterima, bahkan menjadi pengantar ke neraka.

Dari Abu Hurairah ra, katanya, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili di hari kiamat adalah seorang yang mati syahid. Ia dihadapkan dan diterangkan kepadanya nikmat yang telah diberikan kepadanya dan ia pun mengerti. Lalu Allah berkata padanya, “Apa yang kamu lakukan dengan itu?” ia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai syahid.” Allah berkata, “Bohong, kamu berperang supaya dikatakan sebagai pemberani dan kamu telah memperolehnya.” Kemudian ia diseret dengan wajah ke tanah sampai dilemparkan ke neraka.

Selanjutnya orang yang mempelajari ilmu (agama) dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur`an. Ia dibawa menghadap, lalu diterangkan kepadanya nikmat yang ia terima sampai ia mengerti. Allah berkata padanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Ia menjawab, “Saya mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan saya membaca Al-Qur`an karena Engkau.” Allah berkata, “Bohong, kamu mempelajarinya supaya dianggap alim dan membaca Al-Qur`an supaya dianggap qari` dan kau telah memperolehnya.” Lalu ia diseret dengan wajah ke tanah sampai dilemparkan ke neraka.

Selanjutnya orang yang Allah berikan kelapangan rezki dan diberi seluruh macam harta. Ia dibawa menghadap dan diterangkan kepadanya nikmat yang telah ia dapatkan dan ia pun mengerti. Allah berkata padanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Ia menjawab, “Semua sarana yang Engkau sukai untuk disumbang aku sumbang demi Engkau.” Allah berkata, “Bohong, kamu melakukannya supaya dianggap sebagai dermawan dan engkau telah mendapatkannya.” Ia kemudian diseret dengan wajah ke tanah sampai dilemparkan ke neraka. (HR. Muslim, no. 1905).

Perhatikanlah, mari kita instropkesi, mungkin ketika menuntut ilmu dan menyebarkannya kepada umat baik dalam bentuk pengajaran, ceramah, ataupun tulisan di buku terbetik niat kita yang kotor supaya mendapat pujian orang. Bila itu niat utama kita maka bersiaplah untuk mengalami nasib yang sama dengan ketiga orang yang diceritakan dalam hadits di atas. Atau, jangan kitalah orang yang diceritakan dalam hadits tersebut. Na’udzu billah, mari kita bertobat mumpung masih sempat. Semoga Allah melindungi kita dari api neraka dan mematikan kita dalam keadaan husnul khatimah.

  • Lemah lembut terhadap anak didik

Seorang guru adalah pendidik bukan sekedar pengajar. Pendidik berkewajiban memasukkan ilmu ke dalam jiwa dan pikiran peserta didiknya, berbeda dengan pengajar yang hanya bertugas menyampaikan ilmu agar didengar oleh pelajar, terlepas apakah ilmu itu kemudian masuk ke pikiran ataukah tidak.

Ilmu tidak mungkin bisa diserap dan masuk ke pikiran dan jiwa pelajar bila ia tidak bersimpati dengan orang yang memberikan ilmu tersebut.

Terkadang ada murid yang pintar dalam suatu bidang studi, tapi karena ia benci sama gurunya pelajaran itu pun jadi tak disukainya. Ini harus diperhatikan oleh semua guru terutama yang mendidik anak-anak yang belum dewasa.

 Makanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai suri tauladan terbaik bagi kita memberikan contoh bagaimana menjadi pendidik teladan. Beliau menempatkan diri layaknya seorang ayah kepada anaknya, sabda beliau,

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
Aku dengan kalian ini layaknya ayah dengan anaknya.” (HR. Abu Daud, no. 8, An-Nasa`iy, no. 40, Ibnu Majah, no. 313, Ahmad, no. 7372).

Maksudnya, seorang guru harus menyayangi murid layaknya menyayangi anak sendiri. Menuntunnya ke jalan yang benar, serta benar-benar menginginkan kebaikan pada anak didik tersebut. Bukan seperti kebanyakan guru yang masa bodoh dengan keadaan anak didiknya. Mereka hanya berpikir mengajar menjalankan tugas dan di akhir bulan mendapatkan gaji, terserah apakah para pelajar mau pandai atau tidak.

  • Menjadi suri tauladan yang baik

Seorang guru atau ustaz atau semua peran yang sama haruslah menjadi contoh yang baik bagi murid-murid atau jamaahnya. Ia haruslah menjadi orang pertama yang mempraktikkan apa yang ia ajarkan selama ini sesuai dengan kemampuannya.

Ini penting, karena biasanya seorang murid, apalagi yang masih berusia kanak-kanak akan lebih terpengaruh terhadap contoh dan perilaku daripada doktrin atau penyampaian lewat kata-kata. Makanya ada istilah “Guru kencing berdiri murid kencing berlari, guru pakai rok mini murid pakai bikini.” Maksudnya, bila sang guru mencontohkan perbuatan buruk, maka sang murid akan melakukan hal yang lebih buruk lagi nantinya.

Hal ini juga sudah diingatkan Allah dalam Al-Qur`an,

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3).

 Oleh : Ustaz Anshari Taslim, Lc