Pengemis Profesional (Ketika Kemiskinan Menjadi Profesi)

Pengemis Profesional (Ketika Kemiskinan Menjadi Profesi)

Sekitar sebulan yang lalu sejak tulisan ini dibuat, saya berangkat ke kantor dari rumah. Di salah satu perempatan lampu merah daerah Bekasi seperti biasa banyak peminta (pengemis) yang menadahkan tangan ke pengendara. Memang setiap harinya itu adalah pemandangan biasa. Tapi kemudian pandangan saya tertuju pada seorang ibu yang juga pengemis senior di tempat itu sedang menempelkan handphone di telinganya. Sepertinya dia memang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel itu. Saya tertawa dalam hati, mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh pengendara yang lain hanya saja mereka malu berkomentar. Akhirnya lampu hijaupun menyala dan kami melanjutkan perjalanan.

Pengemis pakai handphone? Mungkin ini belum lumrah terjadi. Kalau bisa punya handphone mengapa jadi pengemis? Atau jangan-jangan uang yang didapatkan setiap hari lebih dari cukup sehingga bisa membeli handphone seri baru. Pernah juga dulu sekitartahun 2000-an awal, waktu itu saya sedang naik angkot, tiba-tiba suara hp berbunyi dan ternyata si supir mendapat telepon. Dengan asiknya dia mengobrol seolah sedang menyetir camry. Lalu, cewek-cewek yg ada di dekat saya berbisik dengan teman-temannya, ”Eh,ngak usah bayar, supirnya orang kaya.” 

Memang dulu handphone masih menjadi barang mewah beda dgn sekarang. Tapi, bila yang bawa handphone itu pengemis yang sedang ”tugas” tentu tetap akan menggelitik. Hasil investigasi berbagai kalangan terutama media memang sudah banyak menemukan bahwa mengemis itu adalah profesi, bukan keterpaksaan. 

Saya khawatir suatu saat akan ada orang yang mengisi suatu formulir pada kolom pekerjaan dengan kata ”pengemis”, alamat kantor: ”lampu merah perempatan ini dan anu”. Dengan tidak mengurangi ”rasa hormat” kepada pengemis sejati yaitu mereka yang mengemis karena keterpaksaan, layak kiranya masyarakat mengambil sikap kepada kelompok pengemis ”professional” ini.

Banyak orang yang berhati mulia ingin membantu sesama, sehingga mereka tak segan dan dengan penuh ketulusan merogoh saku memberikan uang seribu atau dua ribu kepada setiap tangan yang menengadah kehadapannya. Tapi bila fenomena profesionalisasi mengemis ini tidak disikapi dengan bijak, tentu kekhawatiran saya di atas bukanlah hal yang mustahil. Ada baiknya kita melihat kepada siapa kedermawanan kita diberikan. Jangan memberikan kepada mereka yang menjadikan ngemis (entah apa kata dasar kata ini) sebagai profesi. 

Bila terlihat badannya sehat, secara fisik masih mampu bekerja, tentulah dia belum pantas turun derajat jadi pengemis. Sebab, rezeki Allah Subhanahu wa Ta'ala itu Maha Luas bagi yang benar-benar yakin dan sungguh-sungguh menjemputnya secara optimal dan maksimal. Apalagi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, 

”Tidak dihalalkan meminta bagi orang yang kaya (berkecukupan) atau beranggota badan lengkap dan masih kuat.” (HR. Ahmad, dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam). 

Dalam riwayat At Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan lain-lain dari Abdullah bin ’Amr, redaksinya adalah, ”Tidak halal sedekah untuk orang kaya dan yang masih kuat serta beranggota tubuh lengkap.”

Bila semua orang sadar untuk tidak memberi, dengan sendirinya mereka akan berhenti dari aktifitas tersebut, lalu berusaha mencari kerja. Solusi jangka pendeknya, bisa dengan memberikan kesadaran kepada mereka yang berprofesi seperti di atas untuk meninggalkan pekerjaannya, dan membekali mereka dengan kemampuan sehingga mereka bisa hidup mandiri tanpa harus minta belas kasihan orang dengan berpura-pura, atau menghinakan diri.

Ini jelas bukan pekerjaan gampang dan tidak bisa dilakukan satu orang. Perlu ada kerjasama semua komponen bangsa yang seharusnya dikomandoi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan pemiskinan diri.

Wallahu a’lam. (mudah-mudahan ada sambungannya).

Ustaz Anshari Taslim, Lc