Kisah Imam Ahmad bin Hanbal dan "tisu" kekuasaan
Sirah Ustaz Dr Muhammad Arifin BadriBeliau diintimidasi, dipenjara bahkan disiksa oleh penguasa selama 3 periode khalifah. Lalu di masa Khalifah Al Mutawakkil, beliau dibela dan dibebaskan, bahkan ideologi yang beliau perjuangkan dibela dan dipublikasikan secara luas.
Walau demikian, uniknya Imam Ahmad tidak mau menerima hadiah dari sang Khalifah yang membebaskannya dan memperjuangkan keyakinan yang beliau pertahankan, yaitu Al Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Ingat ya!, biasanya hadiah itu tidak diserahkan langsung oleh sang khalifah kepada Imam Ahmad, namun hadiah itu dikirimkan lewat utusan yang dianggap lebih mahir mengkondisikan sang Imam agar menerima hadiah tersebut.
Bukan sekedar menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau bahkan memutus hubungan dengan semua keluarga dan sahabatnya yang menerima pemberian sang khalifah .
Apa karena beliau ingin memberontak dan melawean sang khalifah? Tentu saja tidak, tapi beliau tidak ingin membuka pintu produksi pabrik "tisu" bermerek ulama. Tisu itu fungsinya untuk mengelap ingus dan kotoran, lalu dicampakkan ke tempat sampah bahkan dianggap bagian dari sampah itu sendiri.
Beliau kawatir bila dirinya menerima hadiah hadiah itu, dan beliau juga mengawatirkan ulama dan keluarganya yang menerima hadiah-hadiah itu merasa berhutang budi. Karena merasa berhutang budi, mereka tersandera oleh hadiah-hadiah itu, sehingga suatu saat tidak lagi mampu menegakkan kepala dengan setia kepada kebenaran dan tidak lagi fasih mengucapkan prinsip dan keyakinannya.
Beliau kawatir bila suatu saat nanti dimanfaatkan oleh sang khalifah menjadi tisu untuk membersihkan "ingus" yang meler meler dari hidungnya atau mengusap "keringat" yang bercucuran dari badannya.
Imam Ahmad rahimahullah tidak memberontak, tidak mendukung pemberontakan, namun juga tidak sudi menjadi "tisu" pembersih "ingus" sang khalifah, walaupun saat itu sang khalifah yang memberinya hadiah adalah khalifah yang baik, memperjuangkan kebenaran. Imam Ahmad memilih hidup sederhana, bahkan miskin dan kembali ke medan perjuangannya, yaitu mengajarkan ilmu kepada masyarakat luas.
Beliau tidak memandang bahwan khalifah tidak lagi dibutuhkan, beliau mengakui pentingnya khalifah dalam menjaga stabilitas keamanan dan kedaulatan negara. Bagi beliau, khalifah menegakkan keadilan dan menyuarakan kebenaran adalah tanggung jawab yang melekat pada jabatan tersebut, sebagaimana beliau tidak memberontak juga karena keyakinan yang menancap kokoh dalam batin beliau.
Beliau menunjukkan kepada masyarakat beliau bahwa tidak memberontak bukan berati menjadi "tisu pembersih", tidak memberontak bukan berati "menjadi juru bicara" sang khalifah untuk melawan para pemberontak, karena beliau sadar bahwa sang khalifah sering "ingusan" dan bercucuran "keringat".
Adapun uang dan fasilitas, maka itu adalah godaan, dan bisa menyebabkan "taji" beliau tumpul dalam menyuarakan kebenaran dan memperjuangkannya.
Semoga Allah Ta'ala merahmati Imam Ahmad bin Hanbal. Amiin.
***
Oleh Ustaz Dr. Muhammad Arifin Badri