Keputusan hakim mengakhiri semua perselisihan fiqih ?

Keputusan hakim mengakhiri semua perselisihan fiqih ?


Keputusan hakim mengakhiri semua perselisihan fiqih, aah yang bener saja nih?

Demikian bunyi salah satu kaedah fiqih. Sekilas kaedah ini memberi ruang selebar lebarnya bagi para pemegang kekuasan dan palu pradilan untuk menentukan apa saja. Kaedah ini terkesan bahwa para pemegang kekuasaan dan palu peradilan dapat mengakhiri persilangan pendapat di kalangan ulama, bahkan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. He he he.

Kawan tidak demikian itu maksud kaedah di atas. Kaedah di atas hanya berlaku pada cakupan yang sempit, yaitu bila suatu perkara telah menjadi sengketa antara dua pihak, kemudian keduanya menyelesaikan sengketa mereka di meja hijau, maka yang akan menjadi acuan penyelesaian antara mereka adalah keputusan hakim. Mazhab masing masing pihak yang bersengketa, tidak lagi menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.

Perlu diketahui, keputusan hakim itu hanya berlaku bagi kedua belah pihak yang telah bersengketa dan perkaranya telah diputuskan oleh hakim. Adapun orang yang lain yang juga bersengketa namun perkaranya belum dibawa ke meja hijau, maka keputusan hakim pada kasus pertama tidak mengikat kedua pihak yang berperkara pada kasus kedua.

Dengan demikian kedua pihak masih leluasa untuk menyelesaikan perkara mereka dengan cara yang mereka sepakati, bisa mediasi, bisa menggunakan mazhab salah satu pihak yang bersengketa. Dan kalaupun keduanya akhirnya harus menyelesaikan sengketa mereka di meja hijau, maka hakim akan mengkaji ulang sengketa mereka, dengan pertimbangan pertimbangan baru saat sengketa itu dipersidangkan.

Apalagi bila hakim yang menanganinya berbeda dari hakim yang memutuskan sengketa pertama, maka hakim kedua yang bisa saja mazhabnya berbeda dari hakim pertama, maka hakim kedua leluasa untuk mengambil keputusan yang bebeda dari keputusan hakim pertama.

Adapun orang orang yang tidak bersengketa atau berperkara maka tetap bebas mengikuti mazhab siapapun yang ia anggap lebih kuat alias rajih, tanpa ada kewajiban untuk menoleh apalagi mengikuti keputusan hakim pada kedua kasus sengketa di atas.

Demikian penjelasan para ulama diantaranya Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah (35/372).

Jadi salah besar bila kaedah di atas diterapkan di luar majlis persidangan, apalagi untuk menyudahi perselisihan fiqih antara para ulama.

Andai kaedah itu diterapkan di luar majelis peradilan, niscaya buku buku fiqih tidak ada lagi, karena semua atau mayoritas perkara telah diputuskan oleh salah satu hakim muslim di peradilan yang ada di berbagai daerah negeri umat Islam di sepanjang sejarah.

Dinasti Abbasiyah berafiliasi dengan mazhab Maliky, walau demikian mazhab mazhab lain tetap tumbuh subur pada masanya.

Dinasti Turki Utsmani bermazhabkan Hanafi, namun demikian Mazhab Syafii, Maliky dan Hambali tetap eksis.

Kerajaan Saudi Arabia bermazhabkan Hambali, namun demikian masyarakat termasuk ekspatriatnya bebas menganut mazhab yang lain, termasuk mazhab Syafii.

Jadi bila anda bukan hakim, atau perkaranya tidak sampai ke meja hijau, maka jangan menggunakan kaedah di atas.

Semoga mencerahkan, dunia anda.

***

Oleh : Ustaz Dr. Muhammad Arifin Badri